Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Minggu, 04 November 2012

Wirid Imam Nawawi


بِسْـمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ . بِسْـمِ اللهِ اَللهُ اَكْبَرُ، أقُوْلُ عَلَى نَفْسِيْ وَعَلَى دِيْنِيْ وَعَلَى اَهْـلِيْ وَعَلَى اَوْلاَدِيْ وَعَلَى مَالِيْ  وَعَلَى أَصْحَـابِيْ وَعَـلَى اَدْيَانِهِمْ وَعَلَى اَمْوَالِهِمْ اَلْفَ لاَحَوْلَ وَلاَ قُـوَةَ اِلاَّ بِـاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ .

WIRID SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . اَللّهُمَّ يَا عَظِيْمَ السُّلْطَانِ يَاقَدِيْمَ اْلاِحْسَانِ يَادَإِمَ النِّعَمِ يَاكَثِيْرَ الْجُوْدِ يَاوَاسِعَ الْعَطَاءِ يَاخَفِيَّ اللُّطْفِ ، يَاجَمِيْلَ الصُّنْعِ يَِاحَلِيْمًالاَ يَعْجَلُ . صَلِّ يَا رَبِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَالِه وَسَلِّمْ وَارْضَ عَنِ الصَّحَابَةِ اَجْمَعِيْنَ . اَللّهُمَّلَكَ الْحَمْدُ شُكْرًا وَلَكَ الْمَنُّ فَضْلاً وَاَنْتَ رَبُّنَا حَقاًّ وَنَحْنُ عَبِيْدُكَ رِقاًّ وَاَنْتَ

DOA NABI HIDIR AS (Doa Menolak Bala)




بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَّى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
دُ عَاء الفرَج لِسَيِّدِنَا الخِضِرْ عَلَيْة السَّلاَم

اَللَّهُمَّ كَمَا لَطَفْتَ فِى عَظَمَتِكَ دُونَ الَلُّطَفَاءِ وَعَلوْتَ بِعَظَمَتِكَ عَلَى الْعُظَمَاءِ ، وَعَلِمْتَ مَاتَحْتَ أَرِضِكَ كَعِلْمِكَ بِمَا فَوْقَ عَرْشِكَ ، وَكَانَتِ وَسَاوسُ الصُّدُورِ كَاْلعَلاَ نِيَّة عِنْدَكَ ، وَعَلاَ نَّيِةُ اْلقَوْلِ كَالسِّر فِى عِلْمِكَ ، وَانْقَادَ كُلُّ شَىْءٍ لِعَظَمَتِكَ ، وَخَضَعَ كُلُّ ذِىِ سُلْطَانٍ لسُلْطَا نِكَ ، وَصَارَ أَمْرُ الدُّ نْيَا والاَخِرَةِ كُلُّه بِيَدِكَ . اِجْعَلْ لِى مِنْ كُلِ هَمٍ أَصْبَحْتُ أَوْ أَمْسَيْتُ فِيهِ فَرَجَاً وَمَخرَ جَا اللَّهُمَّ إِنَّ عَفَوَكَ عَنْ ذُنُوبِى ،  وَتَجَاوْزَكَ عَنْ خَطِيتىِ ، وَسِتْرِكَ عَلَى قَبِيحِ عَمَلِى ، أَطْمَعَيِ أَنْ أَسْأ لَكَ مَالاَ أَسْتَوْ جِبُهُ مِنْكَ مِمَّا قَصَّرْتُ فِيهِ ، أَدْعُوكَ اَمِنَاً وَأَسْأَ لُكَ مُسْتَأ نِسَاً . وَإِنَّكَ الْمُحْسِنُ إِلَّيَّ ، وَأَنَا الْمُسِئُ إلَى نَفْسِيَ فِيِمَا بَيْنِي وَبَيْنَكَ ، تَتَوَدَدُ إِليَّ بِنِعْمَتِكَ وَأَتَبَغَّضُ إلَيْكَ بِالْمَعَاصِيِ وَلَكِنَّ الثَّقَةُ بِكَ حَمَلَتْنِي علَى الْجرَاءَةِ عَلَيْكَ فَعُدْ بِفَضْلِكَ وَإحْسِانِكَ عَلَي إِنَّكَ أَنْتَ التَّوِابُ الَّرَحِيمُ وَصَلَ الله ُعَلَى سَيِدِنَا مُحَمَّدٍ وَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

amal dan penerapannya

Amal dalam pengertian bahasa Arab adalah tindakan atau perbuatan. Dalam bahasa Indonesia, kata amal memiliki arti perbuatan kasih sayang yang dalam bahasa lainya disebut charity atau charitas. Dimensi amal sebagai tindakan, sangat terkait dengan maksud dari tindakan itu sendiri. Karena itu amal dalam arti perbuatan sangat tergantung kepada tujuan yang dibawakanya. Inilah yang dimaksudkan dengan ucapan nabi: “Bahwa perbuatan-perbuatan (manusia) sangat tergantung kepada niat melakukanya “ (Innama al-a’mal bi al-niyyat)”. Memang ini adalah sikap tidak rasional, karena dapat saja sebuah amal/perbuatan dibuat tidak membawa hasil apa-apa alias tidak sesuai dengan niat dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Tetapi itulah ajaran agama karena dalam pengertian Islam, “Tuhan memuliakan orang yang dimauinya dan merendahkan orang yang diinginkannya ”(Yu’izza man yas’a wa yudzinu man ya’sa). Jadi balasan atas seluruh kegiatan kita berada di tangan Allah, apakah ini tidak berarti orang lalu menjadi malas melakukan sebuah tindakan, baik untuk dirinya sendiri dan apalagi untuk kepentingan orang lain. Bukankah secara rasional manusia tidak dapat menentukan sendiri akibat-akibat perbuatannya? Inilah yang justru merupakan tantangan bagi manusia: Ia tidak menguasai jalur kehidupan yang diinginkannya atas dasar inilah ia menuntut dari Allah untuk menghargai amal perbuatanya dengan tidak melanggar hak-hak Allah atas kehidupan itu sendiri.

Masalah klasik antara wewenang Allah dan tuntutan manusia itu oleh paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah dibiarkan tidak dipecahkan guna memberikan tempat bagi hal-hal yang tidak rasional bagi kehidupan secara umum. Dengan demikian manusia selalu diingatkan bahwa ia bukan Tuhan dan tidak dapat menentukan segala sesuatu ini juga sesuai dengan ungkapan: “Kita menginginkan sesuatu dengan Allah juga menginginkannya, tapi Allah memberlakukan apa yang diinginkan itu” (Nanhnu yurid wa Allahu yurid wa allahu fa’aallun lima yurid)

*****

Karena manusia bukanlah Tuhan, maka dalam pandangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah keterbatasan itu juga direfleksikan dalam ajaran manusia versus Tuhan, dengan kata lain aliran tersebut menolak faham “anthroposentrisme” (pandangan bahwa manusia memegang kekuasaan tertinggi atas dirinya). Hal inilah yang membedakan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari faham yang kemudian dijadikan titik sentral dalam pandangan “Barat Modern” itu.

Menurut penulis yang sebenarnya merupakan titik pusat sekularisme, bukannya ajaran pemisahan agama dari negara (separation of the state from religion). Karena itu pemisahan agama dari negara bukanlah karena adanya sekularisme -yang menolak agama- melainkan karena akan tidak adanya pembedaan antara kekuasaan Tuhan dari kekuasaan manusia.

Maka setelah kita ketahui hakikat dari kekuasaan Tuhan yang dipisahkan dari kekuasaan manusia itu, barulah kita dapat memahami ajaran agama, seperti yang di firmankan Tuhan dalam ayat suci berikut ini : “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama tidaklah diterima amal perbuatannya, dan di akhirat ia akan termasuk orang yang merugi “(Man yabtaqhi qhaira Al-Islami dinan falan yuqbala minhu wahuwa fi al-dinan falan yuqbala minhu wahuwa fi-alakhirati min al-khasirin). Tidak diterimanya amal perbuatan seseorang, dalam pandangan Islam adalah hak Tuhan untuk menetapkannya demikian, tidak berarti amal perbuatan itu tidak ada maknanya.

Jadi penerimaan manusia dan penerimaan Tuhan jelas ada bedanya. Sesuatu akan ada artinya bagi manusia jika perbuatan seseorang dapat diterima oleh sesama manusia. Tetapi penerimaan itu mempunyai arti manusiawi bukannya ukhrawi. Bahkan perbuatan seorang muslim sekalipun belum tentu dapat diterima oleh Allah. Karenanya penerimaan Allah itu hanya penting bagi kita dalam artian keyakinan saja bukan menyangkut hubungan antara sesama manusia.

Prinsip tersebut uga diyakini oleh agama lain, contohnya Konsili Vatikan II yang menyatakan: “Kami, para Uskup yang berkumpul di Vatikan, menghargai hak setiap orang untuk mencapai Kebenaran Abadi melalui cara masing-masing, walaupun kami berkeyakinan bahwa Kebenaran Abadi itu hanya ada di lingkungan Gereja-gereja Katolik Roma”. Sekarang menjadi jelas bahwa keyakinan merupakan “kebenaran” partikular yang tidak dapat dibagi rata atau diseragamkan bagi semua orang?

*****

Karena itulah kebenaran partikular tersebut selalu didampingi oleh kebenaran mutlak yang selalu ada dalam tiap agama. Kebenaran mutlak itu sering kali disebut sebagai kebenaran universal yang berlaku bagi semua orang dan dengan sendirinya bagi semua agama. Bahwa moralitas yang “tinggi” seperti contohnya tindakan menjauhi perzinaan selalu terdapat dalam tiap agama. Karenanya sebagai bagian integral dari keyakinan, tiap-tiap agama melarangnya. Hal itu menunjukkan adanya kebenaran mutlak yang ada dalam tiap agama. Bahwa tidak semua orang beragama dapat menghindari hal itu, adalah soal lain yang tidak merubah “keaslian” ajaran agama yang bersangkutan melainkan menjadi “ dosa pribadi ” yang harus ditobati dan memerlukan pengampunan Tuhan.

Jelaslah dengan demikian, tiap agama memiliki dua dimensi kebenaran, yaitu yang terkait dengan kemampuan seorang pemeluknya untuk melaksanakan ajaran yang dianggap sebagai kebenaran pertikular, disamping ada sisi lain dari kebenaran yang diyakini, yaitu kebenaran universal. Ketidakmampuan memahami hal ini, -dengan menggangap kebenaran universal hanya terdapat dalam agama sendiri- akan menimbulkan sikap tidak menghormati “kebenaran” yang dibawakan oleh keyakinan di luar “agama sendiri” itu. Dari sikap tidak memahami kebenaran universal itu lahirlah sikap merendahkan keyakinan orang lain. Kemudian akan diikuti oleh sikap membenarkan penggunaan segala cara, untuk “membenarkan” agama sendiri dan menggangap “salah” semua ajaran lain. Sikap seperti inilah yang melahirkan terorisme atas nama agama.

Dengan mengetahui hal itu, jelas bahwa tindakan menghadapi terorisme atas nama agama tidak cukup dilakukan dengan tindakan-tindakan hukum saja. Harus juga dilakukan pendekatan kultural yang bersifat mendidik dan mencegah langkah-langkah seperti itu. Bukankah sang teroris melakukan langkah-langkah seperti itu karena tidak mengetahui yang dilakukannya justru mengingkari hakikat kebenaran yang diyakininya sebagai sesuatu yang mulia dan nantinya membawakan ridlo Allah. Namun dalam kenyataan kebalikannyalah yang terjadi. Karenanya marilah kita mendidik kembali orang-orang seperti itu. Mudah dikatakan tetapi sulit dilaksanakan, bukan?

♪♫• UHIBBUKI mitsla maa ANTI, UHIBBUKI kaifa maa KUNTI•

Aku mencintaimu apapun dirimu..
Aku mencintaimu bagaimanapun keadaanmu..
Apa pun yang terjadi dan kapan pun…
Istriku engkaulah cintaku…

Duhai istriku..
Engkaulah kekasihku…
Engkau istriku yang halal, aku tidak peduli celaan orang...
Kita satu tujuan untuk selamanya…

Engkau sirami cinta dalam hatiku dengan indahnya perangaimu…
Kebahagiaanku lenyap ketika kamu menghilang lenyap,
Hidupku menjadikan terang ketika kamu disana…
Hari-hariku berat sampai aku kembali ke rumah menjumpaimu…
Maka lenyaplah keletihan ketika kamu senyum ..

Jika suatu saat hidupmu menjadi sedih, maka aku akan berusaha keras…
Sampai benar-benar mendapatkan apa yang engkau inginkan…

Engkau kebahagiaanku .
tanamkanlah kebahagiaan selamanya…
Jiwa-jiwa kita telah bersatu bagaikan tanah tumbuhan
Duhai harapanku, duhai ketenanganku, duhai kedamaianku, duhai ilhamku….
indahnya hidup ini walaupun hari-hariku berat asalkan engkau bahagia…

CINTA

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya. Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair. "Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut, mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24).
Subhanallah!

***

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud. Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi, qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya, hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang sempurna.

Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu seperti kasus sahabat saya tadi.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah.

Wallahua’lam bish-showab.

KEMATIAN


الموت
 ليس له صاحب , فإذا جاء انتهى كل شيء .
MATI,Tiada teman baginya,tatkala ia datang tamatlah segala sesuatu.
 ليس له مكان , فالعالم كله بأسره مكانه .
Ia tiada bertempat tinggal,dan seluruh alam akan menuju dan tertawan olehnya,
لا تستطيع الهروب منه أو الاختباء ولو كنت في بروج مشيدة.
Engkaupun tiada mampu lari atau menghindar darinya,sekalipun engkau bersembunyi dalam gedung yang kokoh,

REKONSTRUKSI MATERI PENDIDIKAN ISLAM (REFLEKSI ATAS DASAR-DASAR PENDIDIKAN ISLAM MASA NABI DAN KHULAFAURRASYIDIN)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Sejarah merupakan suatu rujukan yang sangat penting saat kita akan membangun masa depan. Sekaitan dengan itu kita bisa tahu apa dan bagaimana perkembangan islam pada masa lampau. Namun, kadang kita sebagai umat islam malas untuk melihat sejarah. Sehingga kita cenderung berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada dimasa lalu.
Perkembangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat adalah merupakan Agam Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurnian Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW. Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman para sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat dimana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi. Perkembangan islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa islam pada zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan islam yang luar biasa pengaruhnya. Namun yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang ini seolah kita melupakannya. Sekaitan dengan itu perlu kiranya kita melihat kembali dan mengkaji kembali bagaimana sejarah islam yang sebenarnya.

Minggu, 21 Oktober 2012



AL-NÂSIKH WA AL-MANSÛKH



 










Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Studi al-Qur’an: Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu: Dr. Imam Muhsin, M.Ag


Disusun oleh:  
1.    Aris Hilmi Mubarok       (1220411182)


Kamis, 06 September 2012

KISAH ASAL USUL BEKAS TAPAK KAKI NABI IBRAHIM A.S (MAQAM)


S
etelah Nabi Ismail bersetuju untuk membantu Nabi Ibrahim membangunkan Kaabah, maka Nabi Ibrahim bersama dengan anaknya pun mula membina Kaabah setelah Allah S.W.T menunjukkan kepada mereka tempat yang harus dibina Baitullah itu. Ada dua riwayat yang mengatakan bahawa Allah S.W.T meninggikan tapak Baitullah sebelum dibina oleh Nabi Ibrahim dan anaknya, tapak Baitullah tidak terkena bala bencana taufan sewaktu taufan besar melanda. Satu riwayat lagi mengatakan bahawa tapak Baitullah itu telah runtuh dalam taufan besar sepertimana runtuhnya binaan-binaan besar yang lain. Setelah peristiwa taufan besar melanda maka sesungguhnya tidak ada orang lain yang mulakan pembinaannya semula kecuali Nabi Ibrahim dan anaknya. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memulakan pembinaan Baitullah. Nabi Ibrahim menyusun naik batu sementara Nabi Ismail pula mengutip batu-batu besar seperti yang difirman oleh Allah S.W.T yang bermaksud, "Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim bersama-sama anaknya Nabi Ismail meninggikan binaan (tapak) Baitullah (Kaabah) sambil keduanya berdoa dengan berkata, Wahai Tuhan kami! Terimalah, daripada kami amal kami sesungguhnya Engkau amat mendengar lagi Amat Mengetahui." (surah al-Baqarah ayat 127). Apabila binaan sudah meninggi, Nabi Ismail, menghulurkan batu besar yang cukup tinggi dan diambil oleh Nabi Ibrahim dan membina Baitullah sehingga ia siap pembinaannya. Maka dengan kehendak Allah S.W.T sebaik sahaja Nabi Ibrahim meletakkan kakinya di batu besar itu, maka terlekatlah tapak kaki Nabi Ibrahim sepertimana dapat kita melihatnya sehingga hari ini dekat Baitullah. Dan ini adalah suatu tanda kebesaran Allah S.W.T.

Jumat, 24 Agustus 2012

Syaikh Mukhtar dan Perampok

Syaikh Mukhtar adalah pemimpin tarekat Qadiriyya di Afrika Utara. Dia tinggal di sebuah pusat zikir (zawiya) di lereng gunung. Satu hari ia memindahkan zawiyanya ke tengah hutan.

Tiga orang perampok yang tinggal di sekitar hutan dan mengenal liku-liku hutan itu berniat merampoknya. Mereka akan mencuri sapi milik shaikh. Mereka memulai pekerjaannya.

Setelah membawa seekor sapi milik shaikh, mereka kelaparan. Dua orang memutuskan kembali untuk meminta makanan sementara yang seorang lagi bersembunyi di hutan dengan sapi curian. Kedua temannya datang mengunjungi shaikh. Betapa terperanjatnya mereka begitu melihat shaikh sudah berdiri di muka pintu menyambut kedatangan mereka.

Kamis, 09 Agustus 2012

KISAH MALAIKAT JIBRIL DAN MALAIKAT MIKAIL MENANGIS

D
alam sebuah kitab karangan Imam al-Ghazali menyebutkan bahawa iblis itu sesungguhnya namanya disebut sebagai al-Abid (ahli ibadah) pada langit yang pertama, pada langit yang keduanya disebut az-Zahid. Pada langit ketiga, namanya disebut al-Arif. Pada langit keempat, namanya adalah al-Wali. Pada langit kelima, namanya disebut at-Taqi. Pada langit keenam namanya disebut al-Kazin. Pada langit ketujuh namanya disebut Azazil manakala dalam Luh Mahfudz, namanya ialah iblis.
Dia (iblis) lupa akibat urusannya. Maka Allah S.W.T telah memerintahkannya sujud kepada Adam. Lalu iblis berkata, "Adakah Engkau mengutamakannya daripada aku, sedangkan aku lebih baik daripadanya. Engkau jadikan aku daripada api dan Engkau jadikan Adam daripada tanah."
Lalu Allah S.W.T berfirman yang maksudnya, "Aku membuat apa yang aku kehendaki." Oleh kerana iblis memandang dirinya penuh keagungan, maka dia enggan sujud kepada Adam A.S kerana bangga dan sombong.

Jumat, 03 Agustus 2012

Kekeliruan kita di bulan Ramadhan

Meski Ramadhan bulan adalah bulan ampunan, untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang kini ‘menyapa’ kita, di bawah ini kami sarikan 16 kekeliruan umum yang sering dialami umat Islam selama Ramadhan

Hanya orang yang tidak tahu dan enggan saja yang tidak segera bergegas menyambut bulan suci ini dalam arti yang sebenarnya, lahir maupun batin. “Berapa banyak orang yang berpuasa (tapi) tak memperoleh apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga belaka”. (HR. Ibnu Majah & Nasa’i)

Namun, setiap kali usai kita menunaikan ibadah shiyam, nampaknya terasa ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaannya, semoga poin-poin kesalahan yang acap kali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar umat ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar puasa kita tahun ini, lebih paripurna dan bermakna.

1. Merasa sedih, malas, loyo dan tak bergairah menyambut bulan suci Ramadhan

Acapkali perasaan malas segera menyergap mereka yang enggan menahan rasa payah dan penat selama berpuasa. Mereka berasumsi bahwa puasa identik dengan istirahat, break dan aktifitas-aktifitas non-produktif lainnya, sehingga ini berefek pada produktifitas kerja yang cenderung menurun. Padahal puasa mendidik kita untuk mampu lebih survive dan lebih memiliki daya tahan yang kuat. Sejarah mencatat bahwa kemenangan-kemenangan besar dalam futuhaat (pembebasan wilayah yang disertai dengan peperangan) yang dilancarkan oleh Rasul dan para sahabat, terjadi di tengah bulan Ramadhan.

Semoga ini menjadi motivator bagi kita semua, agar tidak bermental loyo & malas dan tidak berlindung di balik kata “Aku sedang puasa”.

Ramadhan


Bagaimana di bulan ramadhan
Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat dinantikan bagi umat islam yang kuat imannya, dan terasa berat bagi yang tipis imannya. Pernyataan ini mari kita kembalikan kepada diri kita sendiri, padahal Allah Swt telah menurunkan banyak keberkahan di bulan ini baik materi maupun spritual.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a. dari Abu Hurairah r.a. :
« إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ».

Minggu, 22 Juli 2012

Do'a Sesudah Shalat Tarawih dan Witir

Do’a sesudah shalat Tarawih.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 
اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنْ، وَلِلْفَرَآئِضِ مُؤَدِّيْنَ، وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ، وَلِلزَّكاَةِفَاعِلِيْنَ، وَلَمَاعِنْدَكَ طَالِبِيْنَ، وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ، وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ، وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ، وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ، وَفِى الْأَخِرَةِ رَاغِبِيْنَ، وَبِالْقَضَآءِ رَاضِيْنَ، وَلِلنَّعْمَآءِ شَاكِرِيْنَ، وَعَلَى الْبَلَآءِ صَابِرِيْنَ، وَتَحْتَ لِوَآءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَآئِرِيْنَ، وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ، وَاِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ، وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ، وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ، وَمِنْ حُوْرٍ عِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ، وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ، وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آَكِلِيْنَ، وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفَّى شَارِبِيْنَ، بِأَكْوَابٍ وَاَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مَنْ مَعِيْنٍ، مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ، وَحَسُنَ أُوْلَئِكَ رَفِيْقًا، ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هَذَا الشَّهْرِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَآءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ، وَلاَ تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَآءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَآاَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ