Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Jumat, 27 April 2012

Lelaki Pemimpin Wanita


Firman Allah di dalam Al-Quran bermaksud: "Kaum lelaki adalah pemimpin kaum wanita". Ayat ini jelas menunjukkan kepada kita bahawa kepimpinan adalah diterajui oleh kaum lelaki; manakala kaum perempuan adalah golongan yang dipimpin. Inilah fitrah atau sunnatullah yang berkuatkuasa dalam kehidupan manusia di dunia ini sepanjang zaman. Dalam ayat lain pula Allah berfirman, bermaksud "Peliharalah dirimu dan ahli keluargamu dari api neraka." Perintah ini ditujukan kepada kaum lelaki yang menjadi ketua sesebuah keluarga. 
Pengaruh barat yang menular ke negara Islam berjaya menyerapkan ideologi persamaan hak wanita-lelaki dan akhirnya diterima umum. Akibatnya konsep kepemimpinan lelaki terhakis. Kaum wanita yang dahulunya berperanan mentadbir anak-anak dan rumahtangga si-suami kini sudah mengabaikan tanggungjawab. Anak-anak sebaliknya dipelihara oleh orang gaji. 
Apabila ramai wanita sudah memandang tanggungjawab di rumah sebagai kolot dan tidak ekonomikal, maka institusi keluarga akan tercemar dan terjejas. Anak-anak kehilangan kasih-sayang ibu. Ibu hanya sempat melihat anak waktu petang atau malam. Ketika itu badannya sudah keletihan dan tidak berdaya untuk mengasuh anak lagi. Anak-anak membesar tanpa menerima kasih-sayang ibu. Apabila ibu tidak menyayangi anak, semasa dewasanya nanti, sudah tentu anak tidak akan mengasihi ibunya. Jadilah mereka anak yang kasar dari segi tutur-kata dan tingkahlaku.  
Walaupun masalah ini seolah-olah bersumber dari wanita tetapi sebenarnya di sebabkan oleh kaum lelaki yang belum bisa mentarbiah wanita yang diamanahkan kepadanya.  Kegagalan mentarbiah anak dan isteri menyebabkan ramai anak-anak gadis keluar beramai-ramai memburu kerja di mana-mana saja. Pabrik-pabrik perindustrian yang menawarkan insentif dan gaji lumayan menjadi alternatif utama. Bahkan ramai juga wanita yang menjadi dokter, wartawan, polisi, askar dan sebagainya. Kuantitas wanita yang ramai bekerja menyebabkan berlakunya satu kekosongan yang kentara di dalam institusi keluarga. Keadaan ini digawatkan lagi dengan sikap pelajar lelaki yang tidak secemerlang pelajar perempuan. Kecemerlangan pelajar perempuan dalam akademis dibanding pelajar lelaki menjadi satu faktor ramainya wanita melibatkan diri di dalam pasaran tenaga kerja. 
Penglibatan wanita yang ramai di dalam sektor pekerjaan menyebabkan berlakunya pengangguran di kalangan kaum lelaki. Mereka akhirnya terjebak dalam keadaan itu. Wanita bekerja terutama yang berpendapatan tinggi bertambah ramai yang hidup membujang.  Pemuda yang menganggur sulit mencari uang untuk menikah. Akhirnya berlakulah berbagai gejala keruntuhan akhlak di kalangan muda-mudi.  
Walaupun banyak faktor dikaitkan dengan gejala keruntuhan akhlak yang berlaku sekarang, namun faktor yang jelas ialah kurang berkesannya peranan yang dimainkan oleh kaum lelaki sebagai ketua yang memimpin ahli-ahli keluarganya. Sebagai penutup seyogyanya kita kembali kepada dasar Islam untuk mengembalikan martabat lelaki sebagai ketua yang diamanahkan untuk memimpin ahli-ahli keluarga dan kaum wanita umumnya.
Wallahua’lam.

Selasa, 17 April 2012

Agar Tetap Bercahaya di Tengah Gelap

Berbaur dengan orang lain bukan tanpa resiko. Itu sebabnya Rasulullah saw lebih memuji orang yang mau berbaur dengan masyarakat dan mampu bersabar atas resiko dan kesulitan-kesulitannya, ketimbang orang yang tak mau berbaur dan tak mampu bersabar. Jadi syaratnya jelas, sabar.

Tanpa sabar bukan mustahil perbauran justru mendatangkan akibat negatif.Orang yang tidak sabar, bukannya mampu memberi warna dan pengaruh pada orang lain, tapi dikhawatirkan justru ia terbawa dan terwarnai oleh lingkungannya.

Dan kesabaran tak mungkin berdiri sendiri. Ada perangkat lain yang dibutuhkan agar seseorang mampu bertahan dan bersabar menghadapi berbagai gejolak dan resiko dari berbaur.

Pertama, memelihara niat ikhlas. Fondasi ikhlas yang kokoh takkan mampu menggoyahkan pemiliknya ketika ia harus menghadapi situasi sulit akibat dari kebenaran yang ia lakukan. Hidup berbaur dengan tetap mempertahankan identitas dan prinsip pasti menghadapi banyak tantangan. Bukan saja tantangan yang sifatnya menekan atau menghalangi, tapi juga tantangan yang datang dari pintu rayuan dan godaan. Disinilah keikhlasannya diuji. Karenanya, keikhlasan menjadi faktor terpenting untuk bisa menjadi pribadi yang kuat bertahan dengan prinsip dalam berbaur.

Kedua, meningkatkan ilmu pengetahuan. Seorang muslim dimanapun mempunyai misi. Sebuah misi harus diiringi dengan wawasan muatan pesan yang dibawanya. Wawasan ilmu dalam hal ini mencakup ilmu syariat yang berkait langsung dalam kehidupan masyarakat. Kekurangan bekal ilmu dapat menyebabkan seseorang terlalu mempermudah atau mempersulit masalah. Seorang muslim harus mengetahui batas keluasan dan keluwesan Islam. Sampai dimana batas-batas yang bisa ditolerir oleh syariat dan dimana batas-batas yang tidak dapat ditolerir. Rasulullah saw bersabda, “Berilah kabar gembira dan jangan menceraiberaikan. Permudahlah, jangan mempersulit.”

Ketiga, menjaga keteladanan dalam perilaku. Hal ini penting, karena umumnya masyarakat tidak terlalu tertarik pada uraian kata berupa nasihat atau wejangan. Mereka akan simpatik justru pada sikap dan perilaku baik yang langsung mereka lihat. Para ulama dakwah kerap mengumandangkan prinsip, “Ashlih nafsaka wad’u ghairaka,” atau perbaiki dirimu baru seru orang lain. Ini adalan tuntutan dalam syariat Islam.

Keempat, jangan lupa untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas hubungan dengan komunitas orang-orang shalih. Hal ini penting agar jiwa kita tetap memperoleh suplai semangat dan penyegaran saat bertemu dengan mereka. Rutinitas ini bahkan harus semakin ditingkatkan saat kita menghadapi banyak permasalahan dalam hidup.

Kelima, memahami pedoman dan tahapan dakwah. Kewajiban Islam itu bertingkat-tingkat. Sebagaimana kemungkaran juga bertingkat-tingkat. Diperlukan start tertentu yang berbeda-beda dalam mengadakan pembenahan. Suatu pola yang berhasil diterapkan pada seseorang, belum tentu bisa diterapkan pada orang lain. Selain pola pendekatan yang khas, seorang muslim seharusnya meyakini bahwa sebuah perubahan selalu memerlukan waktu. Sehingga, seorang muslim tidak akan mudah kecewa atau merasa gagal terhadap upaya perbaikan yang dilakukannya.

Keenam, memahami seni bergaul dengan orang lain. Berbaur dan berinteraksi dengan manusia tidak mudah karena masing-masing mereka memerlukan pendekatan tersendiri, sesuai dengan karakternya.

Ketujuh, perluas dan perbanyaklah pengalaman (tajribah). Aspek ini mempunyai pengaruh besar dalam membentuk pribadi yang bijaksana dalam berbaur dengan orang lain. Orang yang memiliki pergaulan luas, dari sisi syariat ilmunya lebih bermanfaat dan dakwahnya akan lebih cepat diterima karena ia telah menempatkan diri sesuai kondisi. Pengalamanlah yang akan memunculkan potensi, menambah kearifan dan kesabaran.

Senin, 16 April 2012

Rasa takut kepada Allah dan kemuliaan akhlaq kepada semua makhluk merupakan kekayaan utama para ulama. Lalu mengapa ada ulama jahat? Di masa Rasulullah belum ada orang yang disebut ulama, walaupun para sahabat Baginda Nabi Muhammad Salallaahu 'alaihi wa salam banyak yang faqih di bidang agama. Ali bin Abi Thalib, misalnya adalah seorang yang sangat 'alim, yang karena ketinggian ilmunya disebut-sebut Rasulullah sebagai baabul 'ilmi, pintunya ilmu setelah menyebut dirinya sebagai gudangnya ilmu.

Ibnu Mas'ud adalah seorang ahli tafsir. Ia sangat faham isi al-Qur'an. Bahkan pada masa Rasulullah masih hidup, ia sering diminta untuk membacakan ayat al-Qur'an agar diengar oleh Rasulullah. Suaranya yang merdu dan penghayatannya yang mantap, menjadikan Rasulullah menangis hingga meleleh air matanya membasahi pipinya.

Ibnu Abbas juga demikian. Meskipun ia sangat belia ketika bersama Rasulullah, tapi kecerdasannya sudah diakui. Bakat keulamaannya sudah dilihat, bahkan disampaikan Rasulullah kepada sahabat lainnya. Meskipun demikian, mereka semua tidak pernah disebut-sebut sebagai ulama, karena sebutan "sahabat Rasulullah" itu jauh lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan sebutan ulama.

Menyadari arti pentingnya ulama, sejak awal Rasulullah telah menyiapkan lembaga pendidikan khusus buat mereka. Mereka ditempatnya di serambi masjid yang setiap saat bisa mendengarkan langsung khutbah, ceramah, dan dialog-dialog Rasulullah yang lebih banyak dilakukan di mesjid. Rasulullah secara khusus juga mengajar mereka.

Adalah Abu Hurairah, seorang sahabat yang bergabung dalam barisan Islam hampir pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah. Akan tetapi karena intensitasnya bertemu dengan Rasulullah di masjid dan dalam pertemuan-pertemuan lainnya, maka dari dirinya terkumpul ribuan hadits. Ia adalah perawi hadits yang sangat produktif. Hal itu sangat dimungkinkan karena setelah keislamannya, Abu Hurairah mengabdikan sepenuhnya pada ilmu dengan cara hidup di serambi masjid Nabawi sebagai ahlus-suffah.

Jika pada masa sahabat sudah banyak orang yang layak disebut sebagai ulama, meskipun tak pernah menyandang gelar ulama, maka pada masa tabi'in lebih banyak lagi orang yang alim di bidang agama. Demikian juga pada masa tabi't-tabi'in, jumlah orang yang alim menjadi belipat ganda. Mereka itulah yang kemudian dikenal dalam khazanah islam sebagai ulama salaf, sedangkan para ulama yang terlahir setelah priode-priode awal itu disebut sebagai ulama khalaf. Sebutan salaf dan khalaf tidak lebih dari sekadar istilah yang membedakan mereka dari segi waktu saja.

Meskipun demikian, karena kedekatannya dengan masa Rasulullah, perbedaan waktu itu akhirnya juga menjadi sangat penting. Yang berarti bahwa ulama salaf lebih memiliki otoritas dibandingkan dengan ulama khalaf.

Para ulama, baik yang salaf maupun yang khalaf mempunyai kedudukan khusus di masyarakat. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas dalam kekuasaan tapi pengaruh mereka sangat kuat. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah pemimpin informal, bahkan pada saat-saat tertentu mereka disebut sebagai penguasa bayangan.

Posisi strategis ulama inilah yang seringkali menjadi ajang perebutan. Para penguasa di segala zaman selalu menarik ulama mendekati kekuasaan. Ada yang berhasil direkrut dan dijadikan alat kekuasaan. Tapi tidak sedikit di antara mereka yang lebih berhati-hati dengan cara mengambil jarak dengan kekuasaan. Sebagian lagi lebih suka menjadi oposan, yang selalu mengambil jalan yang berseberangan dengan kekuasaan.

Ketiga kelompok itu mempunyai alasan masing-masing, sebab jauh dekatnya mereka dari kekuasaan bukan hal yang subtantif. Yang subtansif adalah, apakah mereka, baik yang mengambil jalan mendekat atau menjauh dengan kekuasaan itu telah menjalankan fungsinya sebagai ulama? Apakah dengan kedekatan atau kejauhan mereka itu bisa menjalankan missinya sebagai ulama?

Rasulullah ketika meninggal dunia tidak mewariskan apa-apa, kecuali ilmu kepada ummatnya. Para ulama, yaitu orang-orang yang banyak memperoleh ilmu yang diajarkan Rasulullah, disebut sebagai pewaris nabi. Hadits nabi juga menyebutnya demikian, "al-'Ulama'u waratsatul anbiyaa, para ulama itu adalah pewaris para nabi."


Kekayaan Jiwa

Ulama tidak identik dengan orang yang pandai di bidang agama. Memang penguasaan ilmu menjadi syarat mutlak bagi seorang ulama, namun demikian integritas dan moralitas justru menjadi hal yang paling utama. Ada dua karakter kejiwaan yang mutlak dimiliki seseorang yang menjadi pewaris Nabi. Pertama, rasa takutnya yang hanya kepada Allah melebihi rasa takut yang dimiliki kaumnya. Kedua, keluhuran akhlaq ulama kepada makhluk Allah melebihi siapapun di antara kaumnya.

Seperti diketahui bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Ilmu harus diamalkan, dan bagi ulama setiap amal itu disertai dengan perasaan takut kepada Allah swt.

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah para ulama." (Faathir: 28)

Rasa takut itu membuat ketaatan para ulama, kecintaannya, serta ketekunannya menjalankan perintah Allah dan semangat menjauhi larangan-Nya melebihi yang dimiliki kaumnya.

Selain mewarisi ilmunya, ulama juga mewarisi tugas utamanya. Dalam kaitan ini Rasulullah pernah bersabda:

"Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia." (HR Al-Bazzar)

Tugas utamanya para nabi adalah menyempurnakan akhlaq. Bagaimana seorang ulama bisa menjalankan tugas ini jika mereka sendiri tidak sempurna akhlaqnya? Di sini persoalan integritas dan moralitas menjadi sesuatu yang paling utama. Bagi seorang ulama, antara penguasaan ilmu dan akhlaq tidak bisa dipisahkan.

Merupakan musibah yang teramat besar jika ummat Islam mengangkat atau memposisikan seseorang sebagai ulama, sementara integritas dan moralitasnya masih dipertanyakan. Seleksi pertama para Ulama adalah moralitasnya, karena posisinya sebagai suluh dan obor masyarakat.

Para pengikut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) terdahulu menolak Islam bukan karena kebodohan mereka, bukan pula karena rusaknya akal pikiran. Mereka tidak menerima ajaran Islam semata-mata karena kejahatan para ulama ahlul kitab. Mereka menyembunyikan kebenaran untuk memperoleh sedikit keuntungan duniawi, baik berupa materi, pengaruh, atau kepentingan sesaaat lainnya.

Kejahatan para ulama ahlul kitab itu dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur'an:

"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi al-Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Amat buruklah tukaran yang mereka terima." (Ali Imraan: 187)

Pada ayat yang lain Allah berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menantang api neraka." (al-Baqarah: 174 - 175)

Bagi Allah, dunia dan segala isinya itu tidak ada harganya. Artinya, biarkan seseorang memperoleh dunia dan segala isinya dengan cara menjual agama, tetap akan dikatakan menjual agama dengan harga sedikit. Apalagi jika yang diperolehnya itu sekedar lembaran rupiah atau jabatan tertentu dalam sebuah struktur kekuasaan. Sungguh tak bernilai apa-apa di sisi Allah. Perhatikan hadits berikut ini:

"Perbandingan dunia dengan akhirat itu seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke permukaan laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya." (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Dalam hadits lain disebutkan bahwa seandainya di sisi Allah dunia dan seisinya itu lebih bernilai dari seekor lalat, maka kaum kafir tidak akan mendapatkan bagian sedikitpun dari dunia. Hal ini berarti bahwa imbalan dunia sebesar apapun tak bisa ditukarkan dengan agama. Penukaran itu bernilai sangat murah. Hanya orang-orang yang bodoh saja yang mau menukarkan ayat-ayat Allah dengan dunia.


Mengapa ada yang dibenci?

Dalam kenyataannya, justeru tidak sedikit di antara para ulama yang menjual ayat-ayat Allah. Dalam sejarah kita saksikan jumlah mereka sangat banyak, terutama mereka yang menjual dirinya kepada para penguasa. Tugas mereka tidak lain kecuali membenarkan setiap kebijakan penguasa. Tukang stempel, pembenar atas semua kehendak raja.

Sikap dan perilaku para ulama semacam itulah yang menjadikan Karl Marx bangkit dengan kebencian yang luar biasa kepada agama. Agama dipandangnya tidak lebih dari sekadar candu atau opium bagi masyarakat. Dengan agama yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para pendeta, rakyat tetap tanang meskipun didzalimi dan dianiaya oleh penguasa dan para pemilik modal.

Ulama seperti ini selalu saja ada pada setiap zaman dan periode pemerintahan. Sejak dulu hingga sekarang. Tidak saja menimpa pada ulama ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), tapi juga pada Ulama Islam. Mereka adalah budak budak para penguasa, yang selalu siap membela tuannya dengan bahasa agama.

Sepintas sulit dibedakan antara ulama yang benar dengan ulama jahat seperti ini, karena keduanya sama-sama menyitir ayat untuk membenarkan perbuatannya. Akan tetapi orang segera tahu mana yang jahat dan mana yang benar jika yang dinilai adalah sikap dan perilakunya. Integritas dan moralitasnya. Di sini akan nampak sekali perbedaan antara keduanya.

Ulama yang jahat akan membela mati-matian tuannya, walaupun si tuan benar-benar telah berbuat dan berperilaku menyimpang. Apapun yang dilakukan tuannya adalah benar, dan selalu dicarikan pembenarannya. Mereka tidak saja sebagai "Pak Turut", tapi penganjur fanatisme. Seandainya pemimpinnya yang juga penguasa pada saat itu berkata bahwa langit berwarna merah, merekapun membenarkannya.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak jarang ulama yang mengajak ummatnya masuk ke jurang neraka dengan menggunakan bahasa agama. Jika setan dan para pengikutnya mengajak manusia ke neraka dengan bujukan, rayuan, dan ancaman, maka ulama model ini megajak manusia ke neraka dengan mengutip ayat dan hadits. Inilah yang diperingatkan oleh Allah:

"Sesungguhnya mereka memerintahkan kepadamu berbuat jahat dan keji, dan (memerintahkan) agar kamu sekalian mengucapkan atas nama Allah apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya." (al-Baqarah: 169)

Masih saja dijumpai sampai saat ini ulama yang berapi-api mengutip ayat al-Qur'an dan hadits nabi untuk menghalalkan darah saudaranya sendiri. Mereka mengajak ummatnya untuk membenci kepada seorang Muslim dengan kebencian yang nyata. Tak tanggung-tanggung merekapun menghalalkan darah seseorang atas nama jihad. Padahal telah diketahui bahwa pembunuhan di antara kaum Muslimin merupakan perbuatan dosa, bahkan si pembunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka. Jika si terbunuh dan si pembunuh sama-sama masuk neraka, bagaimana dengan orang yang memerintahkan pembunuhan? Ulama ternyata tidak sedikit yang berperan ganda. Di satu sisi sebagai pemimpin ummat, di sisi lain sebagai provokator.

Pada khutbah terakhir di waktu hijjul wada, Rasulullah Saw berseru: "Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram atas sesama kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, di negeri kalian ini".

Berbagai kerusuhan terjadi, mulai dari zaman Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, hingga sekarang ini selalu bermula dari provokasi para pemimpin agamanya. Yang satu berfatwa menghalalkan darah musuh politiknya, sementara yang lain juga melakukan hal yang sama. Inilah awal dari segala bencana. Kekerasan akhirnya menjadi satu-satunya pilihan untuk membela sang penguasa.

Bencana apalagi yang lebih besar dari musibah seperti ini? Ketika Ulama sudah beralih fungsi menjadi provokator, memanas-manaskan situasi yang sudah panas, maka terjadilah kekerasan, pemerkosaan hak, pemaksaan kehendak, dan kerusuhan massal. Sejarah mencatat berkali-kali peristiwa seperti ini.

Atas dasar catatan sejarah dan kenyataan yang ada saat ini, banyak di antara kaum Muslimin yang akhirnya dihinggapi fobia jika melihat ulamanya berpolitik. Posisi ulama yang sangat strategis di tengah masyarakat seringkali diselewengkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, yaitu membela penguasa yang tak ada jaminan kebenarannya. Mereka beralih dari membela yang benar menjadi membela yang membayar.

Dalam al-Qur'an dijumpai berbagai perumpamaan. Ulama yang menguasai ilmu agama, selalu bicara atas nama agama, tapi tidak mengamalkannya, karena lebih condong kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya, dimisalkan al-Qur'an sebagai anjing. Sebagaimana firman Allah:

"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalau, diulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya ia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (al-A'raaf: 176)

Sabtu, 14 April 2012

antara menangis dan tertawa

Pada suatu ketika di Hari Raya Idul Fitri, sufi Ibn al-Wardi bertemu dengan sekelompok orang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Melihat pemandangan itu, Ibn al-Wardi menggerutu sendiri. Katanya, ''Kalau mereka memperoleh pengampunan, apakah dengan cara itu mereka bersyukur kepada Allah, dan kalau mereka tidak memperoleh pengampunan, apakah mereka tidak takut azab dan siksa Allah?''

Kritik Ibn al-Wardi ini memperlihatkan sikap kebanyakan kaum sufi. Pada umumnya mereka tidak suka bersenang-senang dan tertawa ria. Mereka lebih suka menangis dan tepekur mengingat Allah. Bagi kaum sufi, tertawa ria merupakan perbuatan tercela yang harus dijauhi, karena perbuatan tersebut dianggap dapat menimbulkan ghaflah, yaitu lalai dari mengingat Allah.

Akibat buruk yang lain, tertawa ria dapat membuat hati menjadi mati, yang membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah (Al-Zumar: 22), tidak dapat menerima petunjuk (Al-Baqarah: 7), dan mudah disesatkan oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu Perang Tabuk, orang-orang munafik berpaling dan menolak berperang bersama Nabi. Mereka justru bersenang-senang dan tertawa ria di belakang beliau. Tentu saja mereka dikecam oleh Allah dan diancam hukuman berat. Firman-Nya, ''Katakanlah: Api neraka itu lebih sangat panasnya jikalau mereka mengetahui.

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.'' (Al-Taubah: 81-82). Ayat di atas, menurut pakar tafsir al-Razi, datang dalam bentuk perintah (al-amr), tetapi mengandung makna berita (al-khabar). Dalam perspektif ini, ayat tersebut bermakna bahwa kegembiraan dan suka cita orang-orang munafik itu sesungguhnya sebentar, tidak lama, lantaran kenikmatan dunia tidak kekal alias terbatas.

Sedangkan duka dan penderitaan mereka di akhirat justru berlangsung lama dan terus-menerus, lantaran azab dan siksa Tuhan di akhirat kekal abadi alias selama-lamanya. Ini berarti, setiap orang dihadapkan pada dua pilihan yang bersifat antagonistik, yaitu tertawa ria di dunia, tetapi menangis di akhirat, atau menangis di dunia, tetapi riang gembira dan tersenyum di akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi pernah berpesan agar kaum Muslim lebih banyak menangis daripada tertawa ria. Katanya, ''Jikalau kalian mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.'' (HR Bukhari-Muslim). Di akhirat, berbeda dengan di dunia, manusia akan terbagi menjadi dua golongan saja.

Pertama, golongan yang bersuka cita dan tertawa ria. Mereka itulah para penghuni surga. Kedua, golongan orang yang menderita dan bermuram durja. Mereka itulah para penghuni neraka. Allah berfirman: ''Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup pula oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.'' ('Abasa: 38-42). Semoga kita termasuk golongan orang yang dapat tertawa ria di akhirat kelak. Amin.

Jumat, 13 April 2012

ARTI HURUF BA (BI) PADA BASMALAH

بِسْمِ اللَّهِ الرحمن الرَّحِيمِ
Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
____________________________________________________

Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq pada hamba-hambaNya dalam menjalani keutamaan pengabdian dan mencari kesempurnaan kebahagiaan.
...
Shalawat Salam semoga terhaturkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya yang sinarannya senantiasa berbintang

Dengan di awali basmalah pengajian kitab Safiinatun Najaah dimulai sesuai petunjuk Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi wa sallam dalam sabdanya :

•“
Setiap urusan yang baik yang tidak diawali dengan Bismillaahirrahmaanirrahim maka akan terputus dari barokah”. (HR Abu Daud dan dihasankan oleh Ibnu Shalah )

•"
Saat Malaikat Jibril datang kepadaku, yang pertama diberikannya kepadaku ialah Bismillaahir rahmaanir rahiimi."(Darulquthni dan Ibnu Umar r.a. )


ARTI HURUF BA (BI) PADA BASMALAH

Huruf ba (bi) adalah huruf jar yang memiliki ta’aluq (ikatan) pada kalimat sebelumnya yang dalam basmalah ini ta’alluqnya di buang bila di tampakkan kira-kira berbunyi ABTADI-U "aku memulai", Sehingga bismillah berarti "saya atau kami memulai dengan nama Allah". Dengan demikian kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap. Atau dapat juga diartikan sebagai perintah dari Allah (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah), "Mulailah dengan nama Allah!".

Huruf bi yang diterjemahkan dengan kata "dengan, bersama" itu dikaitkan dalam benak dengan kata "kekuasaan dan pertolongan". Dengan demikian pengucap basmalah seakan-akan berkata, "dengan kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini dapat terlaksana".

Pengucapnya seharusnya sadar bahwa tanpa kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya, apa yang sedang dikerjakannya itu tidak akan berhasil. Ia menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya tetapi pada saat yang sama-setelah menghayati arti basmalah ini, ia memiliki kekuatan dan rasa percaya diri karena ketika itu dia telah menyandarkan dirinya dan bermohon bantuan Allah Yang Maha Kuasa itu.

Dalam kitab tafsir Mariful Qur’an, Mufti Shafi Usmani RA memberikan analisa secara bahasa tentang makna kata bismillah. Menurut beliau kata bismillah terdiri dari 3 suku kata ba, ism dan Allah. Kata ba memiliki 3 konotasi dalam bahasa Arab :
1.
Mengekspresikan kedekatan antara dua benda yang satu dengan lainnya hampir tidak memiliki jarak.
2.
Mencari pertolongan dari seseorang atau sesuatu
3.
Mencari berkah dari seseorang atau sesuatu

Sungguh luas bila seseorang mendalami sekedar arti BA' yang terdapat pada basmalah seperti apa yang pernah di tuturkan oleh Sayyidina Ali Kw. yang dikutip dalam kitab ‘Iaanah AtthoolibiinJika mau aku akan membebani delapan puluh unta untuk memuat makna dari huruf ba dalam kalimat basmalah.”

Seperti halnya pernyataan Imam Assyarbiiny dalam kitab Al-Iqnaa’, “Allah menurunkan sebanyak seratus empat kitab kepada tujuh orang Nabi-Nya, dan seluruh kitab tersebut terkumpul dalam empat kitab, yaitu al-Quran, Taurat, Injil dan Zabur. Dari keempat kitab tersebut terkumpul dalam satu kitab yaitu al-Quran. Dan semua surat yang ada dalam al-Qur`an terkumpul dalam satu surat yaitu al-Fatihah, dan seluruh ayat yang terdapat dalam al-Fatihah terkumpul dalam bismillahir rahmanir rahim. Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa semua yang terdapat dalam kalimat basmalah terkumpul dalam huruf ba dan semua yang terdapat dalam huruf ba terkumpul dalam titiknya”.

Rabu, 11 April 2012

SIAPAKAH AYAH NABI IBRAHIM ?


Masalah di atas merupakan masalah yang kontroversial. Barangkali untuk sebagian orang, masalah ini sudah selesai, dengan pengertian bahwa ayah Nabi Ibrahim adalah kafir, penyembah sekaligus pembuat patung. Dan kebanyakan dari kaum muslimin meyakini seperti itu. Padahal ada sebagian mufassirin dan ulama yang berpendapat bahwa ayah nabi Ibrahim seorang mukmin, paling tidak, ia hidup pada zaman fatrah . Sehingga ia tidak bisa dikatakan kafir dan juga tidak bisa dikatakan beriman, karena misi dan dakwah para nabi tidak sampai kepadanya.

Tulisan ini mencoba ingin mendobrak apa yang dianggap pasti kebenarannya oleh mayoritas muslimin.
Pertama ingin ditegaskan bahwa kekufuran ayah nabi Ibrahim bukan bagian dari ajaran Islam yang esensial ( al ma'lum minaddini bi al dharurah ), sehingga kekufurannya masih bisa dikaji ulang.
Dan kalau ada pendapat yang bertentangan dengan pendapat mayoritas dalam masalah ini, maka jangan diartikan sebagai pertentangan terhadap ajaran agama, karena, malah, bisa jadi pendapat mayoritas yang keliru.
Kedua bahwa untuk menilai seseorang itu kafir tidak semudah membalik telapak tangan. Penilaian ini sebenarnya hak Allah swt. dan dalam tataran syar'i membutuhkan kehati-hatian. Termasuk diantaranya apakah Abu Thalib kafir atau mukmin ?

Dalil yang dijadikan sebagai dasar pengkafiran ayah nabi Ibrahim adalah beberapa ayat yang menyebutkan Azar sebagai " ab " Ibrahim. Misalnya ayat yang berbunyi, " Ingatlah ( ketika ), Ibrahim berkata kepada " ab "nya Azar, " Apakah anda menjadikan patung-patung sebagai tuhan ?. Sesungguhnya Aku melihatmu dan kaummu berada pada kesesatan yang nyata ".( al An'am 74 ).

Atas dasar ayat ini, ayah Ibrahim yang bernama Azar adalah seorang kafir dan sesat. Kemudian ayat lain yang memuat permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya ditolak oleh Allah dikarenakan dia adalah musuh Allah ( al Taubah 114).
Menarik kesimpulan dari ayat di atas dan sejenisnya bahwa ayah nabi Ibrahim seorang kafir terlalu tergesa-gesa, karena kata " abun " dalam bahasa Arab tidak hanya berarti ayah kandung saja. Kata ini juga juga berarti, ayah tiri, paman, dan kakek.

Misalnya al Qur'an menyebutkan Nabi Ismail sebagai " ab " Nabi Ya'kub
as., padahal beliau adalah paman NabiYa'kub as. "Adakah kalian menyaksikan ketika Ya'kub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika ia bertanya kepada anak-anaknya, " Apa yang kalian sembah sepeninggalku ? ". Mereka menjawab, " Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ayah-ayahmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, Tuhan yang Esa, dan kami hanya kepadaNya kami berserah diri ".( al Baqarah 133 )

Dalam ayat ini dengan jelas kata "aabaaika " bentuk jama' dari " ab " berarti kakek ( Ibrahim dan Ishak ) dan paman ( Ismail ). Dan juga kata " abuya " atau " buya " derivasi dari " ab " sering dipakai dalam ungkapan sehari-hari bangsa Arab dengan arti guru, atau orang yang berjasa dalam kehidupan.

Dari keterangan ringkas ini, kita dapat memahami bahwa kata " ab " tidak hanya berarti ayah kandung, lalu bagaimana dengan kata " ab " pada surat al An'am 74 dan al Taubah 114 ?. Dengan melihat ayat-ayat yang menjelaskan perjalanan kehidupan Nabi Ibrahim as. akan jelas bahwa seorang yang bernama " Azar ", penyembah dan pembuat patung, bukanlah ayah kandung Ibrahim, melainkan pamannya atau ayah angkatnya atau orang yang sangat dekat dengannya.

Pada permulaan dakwahnya, Nabi Ibrahim as. mengajak Azar sebagai orang yang dekat dengannya, "Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah Syaitan, sesungguhnya Syaitan itu durhaka Tuhan yang Maha Pemurah ".( Maryam 44 ).

Namun Azar menolak dan bahkan mengancam akan menyiksa Ibrahim.
Kemudian dengan amat menyesal beliau mengatakan selamat jalan kapada Azar, dan berjanji akan memintakan ampun kepada Allah untuk Azar. " Berkata Ibrahim, " Salamun 'alaika, aku akan memintakan ampun kepada Tuhanku untukmu ".( Maryam 47 ).

Kemudian al Qur'an menceritakan bahwa Nabi Ibrahim as. Menepati janjinya untuk memintakan ampun untuk Azar seraya berdoa, " Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan gabungkan aku bersama orang-orang yang saleh. Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian. Jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah ayahku ( abii ), sesungguhnya ia adalah termasuk golongan yang sesat. Jangnlah Kamu hinakan aku di hari mereka dibangkitkan kembali, hari yang mana harta dan anak tidak memberikan manfaat kecuali orang yang menghadapi Allah dengan hati yang selamat ".(al Syua'ra 83-89 ).
Allamah Thaba'thabai menjelaskan bahwa kata " kaana " dalam ayat ke 86 menunjukkan bahwa doa ini diungkapkan oleh Nabi Ibrahim as. Setelah kematian Azar dan pengusirannya kepada Nabi Ibrahim as. ( Tafsir al Mizan 7/163).

Setelah Nabi Ibrahim as. mengungkapkan doa itu, dan itu sekedar menepati janjinya saja kepada Azar, Allah menyatakan bahwa tidak layak bagi seorang nabi memintakan ampun untuk orang musyrik, maka beliau berlepas tangan ( tabarri ) dari Azar setelah jelas bahwa ia adalah musuh Allah swt. (lihat surat al Taubah 114 ) Kemudian pada perjalanan
kehidupan Nabi Ibrahim yang terakhir, beliau datang ke tempat suci Mekkah dan mempunyai keturunan, kemudian membangun kembali ka'bah, beliau berdoa, " Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua walid- ku dan kaum mukminin di hari tegaknya hisab ".( Ibrahim 41 ).

Kata " walid " hanya mempunyai satu makna yaitu yang melahirkan. Dan yang dimaksud dengan " walid " disini tidak mungkin Azar, karena Nabi Ibrahim telah ber-tabarri dari Azar setelah mengetahui bahwa ia adalah musuh Allah ( al taubah 114 ). Dengan demikian, maka yang dimaksud
dengan walid disini adalah orang tua yang melahirkan beliau, dan keduanya adalah orang-orang yang beriman. Selain itu, kata walid disejajarkan dengan dirinya dan kaum mukminin, yang mengindikasikan bahwa walid- beliau bukan kafir. Ini alasan yang pertama.

Alasan yang kedua, adalah ayat yang berbunyi, " Dan perpindahanmu ( taqallub) di antara orang-orang yang sujud ".( al Syua'ra 219 ). Sebagian ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimakasud dengan ayat ini adalah bahwa diri nabi Muhammad saww. berpindah-pindah dari sulbi ahli sujud ke sulbi ahli sujud. Artinya ayah-ayah Nabi Muhammad dari Abdullah sampai Nabi Adam adalah orang-orang yang suka bersujud kepada Allah. (lihat tafsir al Shofi tulisan al Faidh al Kasyani 4/54 dan Majma' al Bayan karya al Thabarsi 7/323 ).

Nabi Ibrahim as. beserta ayah kandungnya termasuk kakek Nabi Muhammad
. Dengan demikian, ayah kandung Nabi Ibrahim as adalah seorang yang ahli sujud kepada Allah swt. .


Sumber Tulisan:
Al-Habib Muhammad Assegaf
(Kelahiran Malang dan Sekarang Tinggal di Belanda)

NASAB NABI MUHAMMAD- NABI IBRAHIM

نسب النبي محمد ( صل الله عليه وسلم )

حتي نبي الله ابراهيم ( عليه السلام )


محمد بن عبد الله بن عبد المطلب

بن هاشم بن عبد مناف بن قـصي

بن كلاب بن مــرة بن كــعب

بن لـؤي بن غـــالب بن فــهر

بن مـالك بن النضر بن كنــانة

بن خزيمة بن مدركة بن اليـاس

بن مضر بن نزار بن مسـعد

بن عدنان بن اسماعيل بن ابراهيم

MUHAMMAD SAW bin ABDULLAH bin ABDUL MUTHALIB (SYAIBAH) bin HASYIM ( AMRU) bin ABDU MANAF ( AL MUGHIRAH) bin QUSHAY (ZAID) bin KILAB bin MURAH bin KA'B bin LU'AY bin GHALIB bin FIHR ( julukannya QURAISY dan jadi cikal bakal nama kabilah QURAIS) bin MALIK bin AN-NADHR (alias QAIS) bin KINANAH bin KHUZAIMAH bin MUDRIKAH (AMIR) bin ILYAS bin MUDHAR bin NIZAR bin MA'AD bin ADNAN bin Isma`il bin Ibrahim

Jumat, 06 April 2012

RAJAH /WIFIQ/JIMAT



Rajah ato Jimat atau dalam bahasa Arabnya tamimah sebenarnya secara asal adalah jimat penjaga yang ditulis dan dikalungkan pada anak kecil untuk menangkal penyakit ‘ain[1]. Namun, pengertian itu semakin luas dan melebar sehingga setiap jimat penjagaan apa pun bentuknya adalah dinamakan tamimah.
Jimat ini pun tidak luput dari penilaian syirik dari sebagian jamaah takfir, dengan ...mengambil dasar hadits shahih riwayat Ahmad berikut:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya suwuk (rukyah), jimat dan pengasihan adalah syirik.”
Penilaian seperti itu adalah bentuk penilain yang tergesa-gesa serta tidak di dasari pemahaman yang baik. Anehnya lagi mereka kadang hanya memahami hadits lewat terjemahan dan kemudian tanpa pemikiran yang obyektik ikut berkomentar memberi hukum tanpa memperhatikan sama sekali pendapat-pendapat ulama terpercaya.

Imam al-Munawi menjelaskan, menggunakan rukyah (kecuali yang syar’iyyah), jimat dan pelet (pengasihan) dianggap syirik sebagaimana dalam redaksi hadits, karena hal-hal di atas yang dikenal di zaman Rasulallah sama dengan yang dikenal pada zaman jahiliyah yaitu ruqyah (yang tidak syar’iyyah), jimat dan pengasihan yang mengandung syirik. Atau dalam hadits, Rasulallah menganggap rukqah adalah syirik karena menggunakan barang-barang tersebut berarti pemakainya mengi’tikadkan bahwa benda-benda itu mempunyai pengaruh (ta’tsir) yang bisa menjadikan syirik kepada Allah.
Imam ath-Thayyibi menanggapi hadits tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan syirik pada hadits di atas adalah mengi’tikadkan bahwa jimat tersebut mempunyai kekuatan dan bisa mempengaruhi (kekuatan merubah sesuatu) dan itu jelas-jelas bertentangan dengan ke-tawakkal-an.[2]

Di bagian lain al-Munawi menjelaskan bahwa pengguna jimat sama dengan melakukan pekerjaan ahli syirik yang mengi’tikadkan bahwa jimat tersebut dapat menolak takdirnya yang sudah tercatat.
Namun, jika jimat tersebut berupa asma atau kalam Allah atau dengan (tulisan berbentuk) dzikir Allah yang tujuannya untuk ber-tabarruk kepada Allah atau penjagaan diri serta tahu bahwa yang dapat memudahkan segala sesuatu adalah Allah maka hal itu tidak diharamkan. Pendapat ini disampaikan Ibnu Hajar yang dikutip oleh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir.[3]

Sedangkan wifiq adalah semacam jimat yang cara penulisannya dikembalikan pada kesesuaian hitungan dan dalam bentuk tertentu. Wifiq ini dapat bermanfaat untuk segala hajat, mengeluarkan orang yang dipenjara, memudahkan orang yang melahirkan dan lain-lain.

Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawi Haditsiyyah-nya menjawab: hukum menggunakan wifiq tersebut adalah boleh jika digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan syari’at dan jika digunakan untuk melakukan hal haram maka hukumnya haram. Dan dengan ini, kita dapat menjawab pendapat al-Qarafi (ulama Malikiyyah murid ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam) yang menegaskan bahwa wifiq adalah termasuk bagian dari sihir.[4]

Di antara ulama Islam yang ahli dan berkecimpung secara langsung dengan pembuatan wifiq adalah Imam al-Ghazali. Bahkan Shohabat Abdurrohman bin auf RA. menulis huruf-huruf permulaan AlQur`an dg tujuan mnjaga harta benda agar aman, Imam sufyan al tsauri menuliskan utk wanita yg akan melahirkn dan digantung didada , ibnu taimiyah al harrani menulis QS Hud.44 didahi orang yg mimisan.
Dan jika wifiq dinilai syirik, maka berarti pula menuduh Abdurrohman bin auf,Imam Hujjatul Islam al-Ghazali dan ulama-ulama adalah pelaku syirik, dan itu tidak akan pernah diucapkan kecuali oleh orang-orang yang mulutnya tidak dikunci dengan adab syari’at.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Penyakait yang punya kekuatan membunuh yang muncul dari pandangan mata.

[2] Faidhul Qadir 2/426.

[3] Ibid. 6/223.

[4] Fatawi Haditsiyyah hlm. 2.Lihat Selengkapnya