Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Senin, 28 Mei 2012

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya. Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair. "Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut, mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24).
Subhanallah!

***

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud. Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi, qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya, hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang sempurna.

Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu seperti kasus sahabat saya tadi.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah.

Wallahua’lam bish-showab.

Jumat, 25 Mei 2012

ALLAH Tidak Ridha Kepada Orang yang Putus Asa

KEBIASAAN orang-orang besar yang dekat dengan Allah swt. adalah berjalan-jalan di sekelilingnya. Bukan sekadar berjalan-jalan belaka, tapi lebih untuk melihat dari dekat apa yang sedang terjadi. Biasanya mereka menjadikan semua itu sebagai perenungan lain. Begitu pula dengan Imam Abu Hanifah.

Suatu hari, ketika Imam Abu Hanifah tengah melakukan kebiasaannya itu, ia melewati sebuah rumah. Rumah itu terletak di pedesaan. Jendelanya terbuka. Tanpa diduga, dari dalam rumah tersebut terdengar suara orang mengeluh dan menangis. Cukup keras. Abu Hanifah mencoba mendekat, agar bisa mendengar lebih jelas. Ia melakukannya dengan perlahan-lahan, seolah tidak ingin diketahui oleh empunya rumah.

"Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini,” suara itu sekarang makin kedengaran dengan jelas, “agaknya tiada seorang pun yang lebih malang daripadaku. Nasibku ini sungguh celaka. Aku memang tidak beruntung. Sejak dari pagi, belum datang sesuap nasi atau makanan pun lewat di kerongkongku. Badanku lemah lunglai. Oh, adakah hati yang berbelas-kasihan sudi memberi curahan air walaupun setitik?"

Abu Hanifah terperanjat. Ia merasa kasihan. Di samping itu, ia juga merasa bertanggung jawab, ada seorang yang begitu memerlukan pertolongan tetapi ia tidak mengetahuinya. Bagaimana kalau ia tidak peduli, tentu Allah akan semakin tidak ridha kepadanya. Bergegas Abu Hanifah pun kembali ke rumahnya dan mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan itu berisi uang. Hendak diberikan bungkusan itu kepada orang tersebut. Abu Hanifah bergegas kembali ke rumah orang tersebut.

Setelah tiba, Abu Hanifah melemparkan begitu saja bungkusan itu ke rumah orang yang sedang meratap-ratap itu lewat jendelanya. Lalu ia pun meneruskan perjalanannya. Untuk sementara waktu, kelegaan terasakan oleh Abu Hanifah.

Mendapati sebuah bungkusan yang tiba-tiba saja datang dari arah jendelanya yang terbuka, bukan buatan terkejutnya orang tersebut. Sambil masih terus bertanya-tanya dalam hati, dengan tergesa-gesa ia membukanya. Setelah dibuka, tahulah ia bungkusan itu berisi uang. Cukup banyak ternyata. Namun tidak hanya uang. Juga ada secarik kertas di dalamnya. Kertas itu bertuliskan kata-kata Abu Hanifah yang isinya, “Hai kawan, sungguh tidak wajar kamu mengeluh seperti itu. Sesungguhnya, kamu tidak perlu mengeluh atau meratapi tentang nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cobalah memohon kepadaNya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus."

Karena diliputi kegembiraan mendapati bungkusan berisi uang, orang itu cenderung tidak mengacuhkan isi surat itu. Ia pun bersuka cita membelanjakan uang itu untuk kebutuhan sehari-harinya.

Keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu. Tapi ternyata, dari luar suara keluhan itu kedengaran lagi. Masih orang itu juga. "Ya Allah, Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Engkau tidak beri, akan lebih sengsaralah hidupku," ratapnya.

Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan secarik kertas dari luar. Tampaknya ia sudah menyiapkan bungkusan itu sebelumnya. Dan seperti biasanya, lalu dia pun meneruskan perjalanannya.

Orang itu kembali merasa beruntung melonjak-lonjak riang. Ia sudah yakin bungkusan itu pastilah berisi uang seperti yang ia terima sebelumnya. Tapi setelah itu, ia membaca tulisan dalam kertas yang tersampir bersama bungkusan uang itu. "Hai kawan, bukan begitu cara bermohon. Bukan begitu cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian 'malas' namanya, dan putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Tuhan melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan, jangan berbuat demikian. Raihlah kesenangan dengan bekerja dan berusaha. Kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan memperkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. InsyaAllah, akan dapat juga pekerjaan itu selama engkau tidak berputus asa. Nah, carilah segera pekerjaan. Aku doakan semoga bisa berhasil."

Usai membaca surat itu, dia termenung. Kali ini, dia insaf dan sadar akan kemalasannya. Selama ini dia sama sekali tidak berikhtiar dan berusaha.

Keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti ketentuan-ketentuan hidup. Ia juga tidak pernah melupakan orang yang telah memberikan nasihat itu.

Kamis, 17 Mei 2012

Belajar dari Adzan


         Adzan yang sering kita dengar setiap hari, sepertinya berlalu begitu saja tanpa ada arti. Hanya sekedar mengingatkan kita bahwa sekarang sudah jam sholat subuh dan sholat lainnya. Sejarah adzan adalah saat Rasul dan sahabat sedang memikirkan bagaimana mengumpulkan umat untuk melaksanakan sholat. Ada beberapa usul yang muncul, seperti harus membunyikan lonceng, meniup terompet dan yang lainnya. Tetapi tidak ada yang disepakati. Suatu malam seorang sahabat bermimpi bahwa dia diajarkan sebuah seruan untuk mengumpulkan umat melaksanakan sholat.

Pagi harinya ia bertemu dengan Rasul dan menceritakan kisah mimpinya tersebut semalam. Dan Rasul-pun setuju. Maka dipanggilnya Bilal untuk mengucapkan kalimat yang diajarkan sahabat tersebut, karena beliau mempunyai suara yang keras dan merdu. Kalimat tersebut kini kita kenal dengan Adzan. Mari kita coba uraikan kalimat-kalimat tersebut.

Allohu akbar, Allohu akbar. Allohu akbar, Allohu akbar. Dalam kehidupan ini kita harus mengawalinya dengan mengagungkan Alloh. Karena tak ada satupun di dunia ini yang tidak hasil karya dari Alloh yang memiliki pengetahuan yang maha luas. Jatuhnya daun dari pepohonan, isi kandungan wanita, tidak ada rahasia bagi Alloh. Allohu akbar.

Asyhadu ala illa ha ilallaah, Asyhadu ala illa ha ilallaah. Setelah kita mengawali kehidupan dengan mengagungkan Allohu akbar, maka kita ikrarkan dalam diri ini, diri bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Alloh. Ikrar ini adalah ikrar ketauhidan kita dihadapan Alloh. Dengan itu kita menjalani kehidupan ini penuh kepastian, bahwa hanya Alloh-lah tujuan akhir dari kehidupan ini.

Asyhadu anna Muhammad darrosulullaah, Asyhadu anna Muhammad darosulullaah. Risalah Alloh tidak akan diturunkan-Nya secara langsung kepada seluruh manusia didunia. Walaupun bagi Alloh itu mungkin karena Allohu akbar. Tapi Alloh menurunkan risalah-Nya melalui seseorang. Dan ternyata Muhammad adalah dipilih oleh Alloh sebagai pembawa risalah-Nya yang terakhir, karena setelah beliau tidak ada lagi pembawa risalah langit.

Hayya alash sholah, Hayya alash sholah. Rukun islam setelah syahadat adalah sholat. Ingat, sholat ini diperintahkan langsung oleh Alloh dengan peristiwa isra’ dan mi’raj nabi Muhammad saw. Betapa nilai sholat sangat agung. Maka sholat merupakan kewajiban setiap pribadi muslim, karena sebagai identitas keimanan kita. Bahkan bukan saat hidup saja kita harus sholat, bahkan saat matipun kita di sholatkan. Betapa ruginya diriku bila sampai meninggalkan sholat. Apabila baik sholat kita, maka akan baik pula amalan-amalan kita. Apabila buruk sholat kita maka akan buruk pula amalan-amalan kita. Dalam kesempatan ini, kami sampaikan kepada saudara-saudaraku seiman, agar selalu menegakkan sholat (yang lima waktu dan yang sunah), hingga akhir hayat. Karena dengan menegakkan sholat kita membuka pintu kebahagiaan dunia terlebih di akhirat nanti.

Hayya ala falah, Hayya ala falah. Kita lima (5) kali sehari setidaknya diingatkan untuk selalu mencari kebahagiaan. Ternyata kebahagiaan itu tidak jauh, yaitu dengan menegakkan sholat kita akan bahagia. Bukankah dalam hidup ini kita ingin bahagia? Siapa yang hidup di dunia ini tidak ingin bahagia, bahkan sampai hari akhirpun kita ingin berbahagia memasuki surga. Bahagia milik si kaya atau si miskin, milik rakyat atau penguasa, milik semua orang. Maka untuk mencari bahagia marilah tegakkan sholat.

Allohu akbar Allohu akbar. Apabila bahagia telah kita raih, Alloh mengingatkan agar kita jangan sampai lupa daratan atau menjadi orang yang tidak bersyukur. Yaitu dengan Allohu akbar, kita yakini bahwa apa yang kita raih adalah hakekatnya Alloh memberikan kepada kita cobaan, bila kita bersyukur akan bertambah kebahagiaan dan apabila ingkar Alloh akan cabut nikmat itu bahkan akan di azab dengan pedih, karena Allohu akbar.

La illa ha illallaah. Akhir dari kehidupan kita jangan sampai melupakan Alloh. Dan inilah kalimat yang semoga dapat kita ucapkan menjelang akhir dari kehidupan kita semua, amiin. Saudara-saudaraku seiman, inilah sekelumit pelajaran yang dapat diambil dari gema adzan yang sering kita dengar sehari-hari. Kebenaran itu datang dari Alloh, dan kesalahan ada pada diri hamba yang lemah ini, mohon dimaafkan. Dan kami yakin saudara-saudara lebih banyak yang bisa mengambil pelajaran dari adzan yang kita dengar. Bahkan ada juga orang non muslim masuk islam hanya karena mendengar adzan. Allohu akbar, Laa illa ha illalloh.

Jumat, 11 Mei 2012

حزب النووي




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ ,

أَقُولُ عَلَى نَفْسِي وَعَلَى دِيْنِي وَعَلَى أَهْلِي وَعَلَى أَوْلاَدِيْ وَعَلَى مَالِي وَعَلَى أَصْحَابِي وَعَلَى أَدْيَانِهِم وَعَلَى أَمْوَالِهِم أَلْفَ بِسْمِ اللهِ اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ ,

أَقُولُ عَلَى نَفْسِي وَعَلَى دِيْنِي وَعَلَى أَهْلِي وَعَلَى أَوْلاَدِيْ وَعَلَى مَالِي وَعَلَى أَصْحَابِي وَعَلَى أَدْيَانِهِم وَعَلَى أَمْوَالِهِم أَلْفَ أَلْفِ بِسْمِ اللهِ اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ ,

أَقُولُ عَلَى نَفْسِي وَعَلَى دِيْنِي وَعَلَى أَهْلِي وَعَلَى أَوْلاَدِيْ وَعَلَى مَالِي وَعَلَى أَصْحَابِي وَعَلَى أَدْيَانِهِم وَعَلَى أَمْوَالِهِم أَلْفَ أَلْفِ أَلْفِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ .

بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ وَمِنَ اللهِ وَإِلَى اللهِ وَعَلَى اللهِ وَفِي اللهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ .

بِسْمِ اللهِ عَلَى دِينِي وَعَلَى نَفْسِي وَعَلَى أَوْلاَدِي

بِسْمِ اللهِ عَلَى مَالِي وَعَلَى أَهْلِي بِسْمِ اللهِ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ أَعْطَانِيهِ رَبِّي .

بِسْمِ اللهِ رَبِّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبِّ الأَرْضِيْنَ السَّبْعِ وَرَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ . بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْم (3 كالي(

بِسْمِ اللهِ خَيْرِ الأَسْمَاءِ فِي الأَرْضِ وَفِي السَّمَاءِ  ,

بِسْمِ اللهِ أَفْتَتِحُ وَبِهِ أَخْتَتِمُ ,

 اللهُ , اللهُ , اللهُ , اللهُ رَبِّي لاَ أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ,

اللهُ , اللهُ , اللهُ , اللهُ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ,

اللهُ أَعَزُّ وَأَجَلُّ وَأَكْبَرُ مِمَّا أَخَافُ وَأَحْذَرُ (3 كالي)

)قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ , اللَّهُ الصَّمَدُ , لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ , وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (. (3 كالي)



وَمِثْلُ ذَلِكَ عَنْ يَمِيْنِي وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَمِثْلُ ذَلِكَ عَنْ شِمَالِي وَعَنْ شَمَائِلِهِم , وَمِثْلُ ذَلِكَ مِنْ خَلْفِي وَمِن خَلْفِهِم وَمِثْلُ ذَلِكَ مِنْ فَوْقِيْ وَمِنْ فَوْقِهِمْ وَمِثْلُ ذَلِكَ مِنْ تَحْتِي وَمِنْ تَحْتِهِم وَمِثْلُ ذَلِكَ مُحِيطٌ بِي وَبِهِم , اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ لِي وَلَهُمْ مِنْ خَيْرِكَ بِخَيْرِكَ الَّذِي لاَ يَمْلِكُهُ غَيْرُكَ ,

 اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي وَإِيَّاهُمْ فِي عِبَادِكَ وَعِيَاذِكَ وَعِيَالِكَ وَجِوَارِكَ وَأَمَانَتِكَ وَحِرْزِكَ وَحِزْبِكَ وَكَنَفِكَ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَسُلْطَانٍ وَإِنْسٍ وَجَانٍ وَبَاغٍ وَحَاسِدٍ وَسَبُعٍ وَحَيَّةٍ وَعَقْرَبٍ وَمِنْ كُلِّ دَابَةٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ,

حَسْبِيَ الرَّبُّ مِنَ الْمَرْبُوْبِينَ , حَسْبِيَ الْخَالِقُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ , حَسْبِيَ الرَّازِقُ مِنَ الْمَرْزُوْقِيْنَ , حَسْبِيَ السَّاتِرُ مِنَ الْمَسْتُورِيْنَ , حَسْبِيَ النَّاصِرُ مِنَ الْمَنْصُورِيْنَ , حَسْبِيَ الْقَاهِرُ مِنَ الْمَقْهُورِينَ , حَسْبِيَ الَّذِي هُوَ حَسْبِي , حَسْبِيَ مَنْ لَمْ يَزَلْ حَسْبِي , حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ , حَسْبِيَ اللهُ مِنْ جَمِيعِ خَلْقِهِ ,) إِنَّ وَلِيِّيَ اللهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلىَّ الصَّالِحِيْنَ(

)وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْءَانَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا , وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي ءَاذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْءَانِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا( ,

)فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ(

وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم (تيوف كانن ، كيري , دفن , بلاكغ 3 كالي(

خَبَأْتُ نَفْسِي فِي خَزَائِنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ , أَقْفَالُهَا ثِقَتِي بِاللهِ , مَفَاتِيْحُهَا لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ , أُدَافِعُ بِكَ اللَّهُمَّ عَنْ نَفْسِي مَا أُطِيْقُ وَمَا لاَ أُطِيْقُ لاَ طَاقَةَ لِمَخْلُوقٍ مَعَ قُدْرَةِ الْخَالِقِ . حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ .

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم

سورة الإخلاص

سورة الأعراف الأية 196

سورة الإسراء الأية 45-46

سورة التوبة الأية 129

Sabtu, 05 Mei 2012

Thoriqoh


Tarekat dalam kehidupan kita sehari-hari kadang ada yang mengartikan sama dengan tasawuf dan sebaliknya. Nicholson, seorang orientalis yang kompeten dalam bidang ini, menjelaskan bahwa sufisme bukanlah sistem yang tersusun atas aturan atau sains, namun menurutnya adalah merupakan aturan moral. Bila tasawuf merupakan sebuah sains, tentu hanya akan di ketahui melalui serangkaian instruksi, sedangkan akhlak kepada Tuhan tidaka akan dapat di wujudkan hanya melalui serangkaian aturan atau sains. Lebih lanjut beliau juga menegaskan , untuk mengatasi ketidak sempurnaan dunia, maka bukalah mata terhadap sesuatu yang tidak sempurna, sebagai upaya untuk bisa merenungi (mengingat) Allah, Dzat yang jauh dari ketidak sempurnaan, dan itulah sufisme.

Senada dengan diatas HAMKA juga mendifinisikan tasawuf, menurut beliau sebagaimana di tegaskan di dalam bukunya Tasawuf Modern ialah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang mulia atau terpuji. Kegiatan kaum sufi dalam arti yang demikian adalah yang dituntut dan dianjurkan oleh agama, karena Islam melalui lisan para pembawanya berfungsi untuk menjamin dan memelihara keseimbangan dunia ini, bahkan Nabi sendiri menegaskan kerasulannya hanyalah untuk menyempurnakan akhlak.

Secara khusus tasawuf juga dapat diartikan sebagai jalan rohani (thariqah) yang menuju kepada pencapaian kesempurnaan moral dan pengetahuan intuitif mengenai Tuhan. Dengan demikian yang menjadi tujuan utama orang menjalankan laku tasawuf adalah mendapatkan penghayatan makrifat langsung pada dzat Allah. Untuk dapat mengahyati dan memperoleh makrifat kepada Allah, jalan yang harus di tempuh adalah dengan melalui dengan jalan pengalaman meditasi konsentrasi di dalam dzikir kepada Allah. Dalamtasawuf jalan untuk bisa menuju makrifat kepada Allah jalannya dinamakan tarekat (thariqah).

Ada lima karakteristik, menurut al Taftazani di dalam betasawuf yang bersifat psikis, moral, dan epistemologis

Inti dari tarekat dalam arti ajaran adalah jalan yang harus di tempuh oleh kaum sufi dalam berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui ajaran-ajaran yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh ulama’- ulama’ sebelumnya sebagai upaya untuk penyucian hati dari sesuatuselain Allah, dan untuk menghiasi dzikir kepada Allah.4 Demikian juga halnya dengan tawajuhan yang dilakukan dalam tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah ini, untuk bisa mencapai pada dataran pendekatan diri kepada Allah haruslah dengan jalan khusus, yaitu dengan jalan tawajuhan yangdilakukan dengan memperbanyak dzikir kepada Allah. Dengan dzikir manusia akan semakin mudah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kita tahu bahwa dengan dzikir pulalah seperti yang dilakukan dalam tarekat naqsabandiyah kholidiyah ini setidaknya manusia akan mendapatkan dua hal dari Allah, yaitu:
  1. غاسية هم الرحمة .  orang tersebut akan selalu di telungkupi oleh rahmat Allah
  2. ونزلت عليهم السكينة .  orang tersebut akan selalu mendapatkan ketenangandi dalam hidupnya

Menurut keterangan yang penulis himpun dari keterangannya Kyai Mansur, di jelaskan oleh beliau ketika seorang murid sudah melaksanakan dzikir sesuai dengan apa yang di ajarkan dalam tarekat tersebut maka sudah barang tentu mereka akan mendapatkan apa yang dinamakan ketenangan di dalam hidupnya, dan juga sudah mengumpulkan bekal untuk kelak di akhiratnya. Karena pada hakikatnya mereka selalu di telungkupi oleh rahmat Allah melalui perantaraan malaikat yang senantiasa mendampingi kemana dan di manapun mereka berada. Sehingga oarang tersebut terhindar dari melakukan perbuatan maksiat kepada Allah SWT.

Jika manusia dalam hidupnya sudah di telungkupi oleh rahmat Allah, sudah barang tentu akan merasakan ketenangan di dalam hidupnya. Jika demikian halnya, maka yang ada hanyalah beribadah kepada Allah dengan lebih khsusuk, karena mereka sudah yakin kalau yang dapat menciptakan ketenangan hanyalah Allah. Hal ini dapat mengarahkan kepada kita untuk dapat memahami hakikat dari tujuan hidup manusia, yaitu tercapainya keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan pada akhirnya tujuan hidup tersebut akan dapat di capai.

Jadi pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan tarekat pada tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah ini adalah dengan melalui pendekatan dzikir, yang mana dzikir ini dimaksudkan agar kita dapat membiasakan kebiasaan yang baik yang selalu menuntun kepada mereka untuk selalu mengingat Allah. Hal ini ada cara khsusus yang harus di tempuh oleh pengikutnya, sebagaimana dapat kita baca di dalam kitab Risalah Mubarokah.

Adapun dzikir yang di lakukan di dalam Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah sebagian besar di tempuh dengan dzikir sirri. Dalam tarekat naqsabandiyah kholidiyah, ada yang menyebut sebagai thariqat al dzikir. Sebab dalam tarekat ini selalu menempatkan tasawuf sebagai pakaiannya. Sementara dzikir di tempatkan sebagai muamalahnya, yang dipelajari dan di peroleh dari mursyidnya. Dan itu semua diperdalam lagi dalam bentuk pengamalan untuk memoles perilaku kita sehari-hari. Dengan begitu, perilaku tasawuf yang telah menyatu dengan dengan jiwa kita tersebut akan menjadi hal yang reflektif, menyatu dan mengalir sistematis (taken for granted) dalam diri kita manusia.

Jadi kalau kita melihat orang mengaku telah mengikuti kegiatan tarekat tetapi hati dan perilakunya belum menunjukkan sebagaimana yang di gambarkan dalam kegiatan kesehariannya maka orang tersebut belum dapat kita namakan sebagai pelaku tasawuf yang sebenarnya. Karena yang namanya orang bertarekat ataupun tasawuf intinya adalah pada pembentukan akhlak atau pembiasaan berperilaku baik, baik itu akhlak kepada sesama manusia, akhlak kepada makhluk lain maupun akhlak kita kepada Allah SWT. Dalam pengamalannya harus ada keseimbangan antara hablum minallah (hubungan baik dengan Alloh) dan hablum minannasnya (hubungan baik dengan sesama manusia), karena disana penekanannya adalah pada pembentukan akhlakul karimah, dimana dalam
ajaran Islam juga di tekankan mengenai pengamalan akhlakul karimah. Bagaimana tidak, di dalam tarekat sangat ditekankan untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Jika demikian maka manusia akan merasa selalu di awasi oleh Allah di mana dan kapanpun berada (muroqobah). Juga karena tarekat adalah perilaku yang dilaksanakan Nabi, dan Nabi sendiri ada di dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak yang belum sempurna kepada akhlak yang sempurna (akhlakul karimah)

Managemen Hati

Alhamdulillahirobbil'alaimin, Allah yang Maha Kuasa, yang benar-benar total sepenuhnya berkuasa atas segala hal, dan tidak pernah dimintai pertanggungjawaban. Allah Maha Adil, jadi apapun yang ditimpakan kepada kita pasti sempurna dan kita tidak layak kecewa. Kecewa dapat saja kita rasakan jika kita salah dalam menyikapinya. Yakinkanlah bahwa perhitungan Allah tidak semata-mata di dunia tetapi adalah persiapan menuju surga.

Tetap optimis dan selalu bersikap husnudzon kepada Allah akan membuat hidup kita nyaman. Hidup ini terlalu singkat jika harus disikapi dengan kecewa terhadap perbuatan Allah. Mudah-mudahan kita bisa memposisikan diri kita dengan tepat terhadap makna Al-Qowiyyu terhadap kita.

Rasulullah bersabda, "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah walaupundalam keduanya ada kebaikan".

Dengan sigma kekuatan yang lebih banyak, antara lain kuat fisik, kuat dompet, kuat mental dan ruhiyah; kita akan lebih dicintai Allah. Membangun kekuatan adalah sarana menjadi mukmin yang baik dalam menggapai kedudukan disisi Allah. Dalam surat Al-Anfal diajurkan untuk memiliki kekuatan, bukan untuk menindas tetapi untuk menggentarkan kekuatan lawan. Makin kita kuat, makin kita membuat orang lain terselamatkan dari mendzolimi orang.

Islam mengajarkan kekuatan sebagai bagian dari kebaikan seorang mukmin, kedekatan dengan Allah, dan juga dapat digunakan menolong orang dari kemungkaran. Jadi hal ini penting sekali.

Hal yang membuat kita terpuruk seperti ini adalah karena kita lemah, antara lain ekonomi yang lemah yang membuat kita repot, ilmu yang lemah membuat kita mudah ditipu.

Maka yang harus menjadi tren sekarang ini adalah membangun kekuatan. Kekuatan yang harus dimiliki adalah bermacam-macam. Kita mulai dahulu dari yang paling mudah yaitu kekuatan fisik. Harus extra konsentrasi dalam membangun kekuatan fisik ini kalau perlu konsultasi dengan dokter yang ahli.

Kita akan terasa memiliki kekuatan extra jika kita berusaha memperbaiki diri, mulai dengan ritme makan, olahraga, jam istirahat yang diperbaiki kualitasnya. Walaupun kekuatan fisik bukan satu-satunya yang terpenting tetapi jelas bahkan jika fisik kita kuat akan sangat berguna. Sebagai ilustrasi pedang Imam Ali di Turki sangat besar, lebih besar lagi dan bahkan lebih panjang pedangnya Imam Jafar As-Shoddiq, logikanya kalau tidak memiliki tangan yang kuat maka tidak akan mampu menggunakannya.

Canangkanlah program memperkuat fisik. Kita harus lebih kuat karena kalau fisik kita lebih kuat dan sehat insya Allah akan bisa berbuat lebih banyak. Kita serahkan saja kepada Allah sekalipun kita diberi sakit itu urusan Allah yang penting tekadnya adalah ingin menjadi sehat dan kuat, ini akan menjadi tekad ibadah. Kalau ada seorang ibu-ibu yang membutuhkan bantuan dengan belanjaannya jika kita kuat fisik akan mudah menolongnya, ada orang yang didzolimi kita akan dapat menggetarkan lawan jika kita kuat.

Mudah-mudahan ini tidak dianggap remeh jika kita melakukan push-up, lari, senam akan menambah vitalitas akan lebih baik lagi jika kita lakukan sambil dzikir, ini akan menjadi jalan taqarrub kepada Allah.

Jika kita lebih sehat dan kuat maka lebih banyak yang dapat kita perbuat dan akan lebih baik lagi kualitas keimanan kita. Sujud dengan pusing itu berbeda dengan sujud dalam sehat, tahajud dalam keadaan fit akan lebih nikmat daripada tahajud dalam keadaan sakit. Maka memperbaiki gizi juga merupakan ibadah, jangan pelit untuk membeli makanan bergizi karena sekali saja kita sakit akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Menjaga kesehatan akan membawa kebaikan.

Kekuatan yang kedua adalah kekuatan finansial, kekuatan ini juga akan membawa pada kebaikan. Contohnya pergi ke pengajian ini memerlukan biaya, bahkan semua episode hidup ini memerlukan biaya. Nabi Muhammad menikah pertama kali tidak dengan Siti Aisyah melainkan dengan Siti Khadijah yang memiliki pilar ekonomi yang kuat.

Hal ini penting bagi umat Islam, jangan menganggap orang kaya itu paling belakang masuk ke surga. Itu tidak penting, kita dicintai Allah di dunia dan akhiratlah yang kita cari. Golongan orang yang masuk surga tanpa hisab adalah ulama, orang kaya yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, mujahadah yang mati syahid dan haji mabrur.

Dikisahkan ketika dipersilahkan masuk ke surga, haji mabrur terlebih dahulu tetapi dia menolak dengan alasan harus ulama dahulu karena ia mengetahui hukum-hukum haji dari gurunya yang seorang ulama. Begitu pula mujahid, ia tidak akan mengetahui keutamaan jihad kalau tidak ada ulama yang mengajarkannya. Tetapi ketika ulama dipersilahkan, ia malah mempersilahkan orang kaya karena ia menganggap jika tidak ada bangunan-bangunan islami yang dibiayai oleh orang kaya ia tidak mungkin dapat berdakwah.

Kita itu sebenarnya kaya tetapi jatahnya saja yang tidak diambil, kita itu jatahnya banyak lihat saja bumi Indonesia yang begitu kaya. Kita itu belum maksimal, tubuh belum all-out, otak belum diperas, doa belum maksimal. Kalau kita gabung kekuatan otak, fisik, doa bertemu dengan rezeki pasti barokah insya Allah.

Tetapi kita jangan mengumpulkan harta untuk bermewah-mewahan, kumpulkan harta untuk bangun kebajikan, tolong orang banyak. Kita tidak akan membawa harta ini sampai mati. Di sisi Allah catatannya akan bertambah jika kita nafkahkan di jalan Allah. Jangan pernah merasa puas dengan pendapatan yang ada, kerja lebih keras lagi. Bangunlah terus sampai kita mati, kalau kita mati meninggalkan perusahaan masih ada bawahan yang makan dari pendapatan perusahaan kita.

Cita-cita itu jangan muluk-muluk, di dunia juga kita harus berhasil. Jangan sampai hanya memfokuskan ke akhirat saja yang belum tentu sukses dan mengabaikan dunia, karena kita sekarang tinggal di dalamnya. Kita seharusnya hidup itu cukup bersahaja saja, tolong banyak orang, ini yang seharusnya menjadi gaya hidup kita. Peras lagi otak kita. Kalau pecinta dunia itu mencari dunia untuk kepuasan dirinya, pecinta Allah mencari dunia untuk mendapatkan kedekatan dengan Allah. Pecinta dunia dengan pecinta Allah sama giatnya, kita bahkan lebih giat dari mereka karena kita pakai doa. Kita kejar dunia dengan bersimbah peluh berkuah keringat, kita peras otak buat perusahaan yang profesional. Tetapi kepuasan kita bukan ketika berkumpulnya uang, bukan punya perusahaanya, kepuasaan kita adalah ketika ada orang lapar yang bisa makan dengan bekerja pada perusahaan kita; ada seorang bapak yang terangkat martabatnya dengan bekerja; orang yang tidak berpakaian menjadi berpakaian; orang yang anaknya tidak sekolah jadi sekolah; inilah yang kita nikmati.

Kalau untuk kita secukupnya saja, wajar dan proporsional, selebihnya sedekahkan. Percayalah kita sudah punya rezekinya masing-masing. Terus evaluasi diri, bangun kekuatan diri; yang penting barokah. jangan sampai kita dapat harta haram yang akan menjadi racun bagi kita.

Kekuatan yang ketiga adalah kekuatan intelektual; kita harus meningkatkan kekuatan ini. Sebuah bangunan akan kokoh karena pondasinya yang kuat dan kokoh. Kita masih sering terfokus pada aksesoris bangunannya tetapi bukan itu yang terpenting, melainkan pondasinya. Kita masih sering terfokus pada harta, pangkat, jabatan, dan popularitas. Tetapi semua ini bencana kalau pondasi kita tidak kuat. Mengapa banyak pemimpin yang roboh? Mengapa banyak sekali orang yang ketika tidak punya uang sholeh, ketika punya uang roboh? Ada juga orang yang memiliki daya tahan yang tinggi tetapi ketika punya uang malah jadi maksiat ?

Maka ketika kita punya uang banyak, harus meningkat pula kekuatan keimanannya yang merupakan pondasi yaitu Keyakinan Kepada Allah. Iman itu pupuknya adalah ilmu. Ilmu akan mengokohkan pondasi kita, ketika mendapatkan uang tidak akan memperdayakan kita, ketika punya kedudukan kita biasa saja.

Oleh karena itu tidak cukup hanya di majelis taklim seperti ini saja, di rumah, di jalan harus terus dibangun kekuatan keilmuan kita. Tidak ada hari tanpa ilmu. Kemanapun pergi di saku harus ada buku, setiap ada kesempatan buka dan baca. Karena ilmu kita kuat, karena ilmu pula kita bisa menguatkan yang lain.

Mulai sekarang kita kuatkan ilmu kita untuk menguatkan keimanan kita. Terus saja cari supplier ilmu, cari terus akses ilmu agar semakin kuat iman kita yang merupakan buah dari ilmu dan wawasan kita.

Kuat mental yang merupakan buah dari kuat iman. Tiap hari kita harus latihan untuk tidak sakit hati, latihan kuat mental, latihan tidak tersinggung. Untuk kekuatan butuh latihan, tidak ada kekuatan tanpa latihan.

Tiap hari harus selalu dilatih untuk tidak mudah marah, tidak mudah tersinggung, tidak mudah tergelincir. Makin kuat membaja mental kita insya Allah ringan hidup ini. Kita harus seperti intan ditimpa batako, intannya tetap cemerlang.

Tidak mungkin kita kuat kalau tidak latihan. Apapun yang terjadi harus menjadi latihan kekuatan iman kita. Nikmati sebagai latihan, setiap episode yang terjadi dalam hidup kita sehingga semakin kuat iman dan mental.

Yang terakhir adalah kekuatan ruhiah, karena kalau ruhiah kita sudah kuat kita akan menjadi sholeh luar biasa. Kalau kekuatan ruhiahnya sudah terpancar bagai cahaya matahari masuk ke relung-relung hati, menumbuhkan bibit-bibit, menerangi yang ada dalam kegelapan, menyegarkan yang layu. Andaikata kekuatan lainnya terbatas, kita bangun kekuatan ruhiah kita. Sekali bicara daya gugahnya akan terhunjam, daya rubahnya akan kuat. Perkataan yang sama, akan berbeda hasilnya kalau keluar dari orang yang kuat ruhiahnya dengan yang lemah ruhiahnya.

Saudaraku,
Rasulullah kalau marah semua orang menangis, kita marah selama satu jam malah akan menimbulkan kebencian. Oleh karena itu marilah kita bangun kekuataan ruhiah agar kita ini efektif menjadi manfaat bagi orang lain. Bagaimana caranya membangun kekuatan ruhiah? Jawabannya adalah "Sucikan diri". Amat sangat beruntung orang yang menjaga kebeningan hatinya.

Pandangan dijaga, omongan dijaga, telinga hanya mendengar sesuatu yang disukai Allah dan bermanfaat. Semua yang kita rasakan harus mendekatkan diri kita kepada Allah, juga riyadohnya harus lebih digencarkan. Malam harus tahajud meskipun hanya dua rakaat tetapi dengan kualitas yang tetap terjaga. Senin-Kamis usahakan shaum. Ketika punya uang latih untuk keluarkan sedekah. Mata dilatih untuk menunduk, mulut dilatih bicara hanya seperlunya saja, pendengaran yang tidak perlu dikurangi, lisan usahakan selalu berdzikir, sholat tepat waktu, jaga wudhu.

Makin kita latih terus mendekat kepada Allah nanti akan makin bercahaya hati kita, makin kokoh ruhiah kita. Kita nantinya dengan izin Allah akan sampai pada titik tertentu sehingga akan kelihatan rahasia dunia ini, kemudian lintasan rezeki akan terlihat yang membuat kita tidak panik. Kita akan mengerti hikmah dibalik musibah, akan mengerti akan episode-episode hidup. Dalilnya adalah "Dan tidak ada lagi di dunia ini selain kesenangan yang menipu". Nanti kita akan melihat dunia itu dari sudut yang lain.

Ketika kita berbuat sesuatu kita dapat mengetahui manfaat jauh sebelumnya. Oleh karena itu bukan kejadiannya yang kita nikmati, melainkan hikmah dibalik kejadian tersebut. "Kelezatan itu ketika kita tenggelam dalam samudra hikmah", sehingga kejadian bagaimanapun akan kita sikapi dengan biasa-biasa saja.

Jika kita punya sigma kekuatan fisik, finansial, intelektual, mental dan ruhiah, kita akan tampil menjadi manusia prima yang lebih baik dari yang lain dan lebih dicintai oleh Allah. Rindukanlah sepanjang hidup kita harus membangun terus kekuataan bukan untuk dzolim kepada orang lain, melainkan untuk mencegah kedzoliman. Walhamdulillahirobbil'alamin