Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Selasa, 26 Juni 2012

Berhias hati dengan menangis


“Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Indahnya hidup dengan celupan iman. Saat itulah terasa bahwa dunia bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang ada di depan mata. Semuanya teramat kecil dibanding dengan balasan dan siksa Allah swt.

Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di pundak orang lain
Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan keburukan akan kembali ke pelakunya.

Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 164. “…Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Lalu, pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang telah kita lakukan. Seberapa banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan, hitungannya tak beda dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan, jauh lebih banyak lagi.

Masihkah kita merasa aman dengan mutu diri seperti itu. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun mampu menjamin bahwa esok kita belum berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun bisa yakin bahwa esok ia masih bisa beramal. Belumkah tersadar kalau kelak masing-masing kita sibuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan.

Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan Yang Maha Agung
Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang lain.

Apa yang kita dapatkan pun tak lebih dari anugerah Allah yang tersalur lewat lingkungan. Kita pandai karena orang tua menyekolah kita. Seperi itulah sunnatullah yang menjadi kelaziman bagi setiap orang tua. Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal dari warisan orang tua atau karena berkah lingkungan yang lagi-lagi Allah titipkan buat kita. Kita begitu faqir di hadapan Allah swt.

Seperti itulah Allah nyatakan dalam surah Faathir ayat 15 sampai 17, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.”

Menyadari bahwa surga tak akan termasuki hanya dengan amal yang sedikit
Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam surga. Pikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. “Pasti, pasti saya akan masuk surga,” begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri sudah lebih dari cukup.

Namun, ketika perbandingan nilai dilayangkan jauh ke generasi sahabat Rasul, kita akan melihat pemandangan lain. Bahwa, para generasi sekaliber sahabat pun tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk surga. Dan seperti itulah dasar pijakan mereka ketika ada order-order baru yang diperintahkan Rasulullah.

Begitulah ketika turun perintah hijrah. Mereka menatap segala bayang-bayang suram soal sanak keluarga yang ditinggal, harta yang pasti akan disita, dengan satu harapan: Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik. Dan itu adalah pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu pun ketika secara tidak disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan pasukan yang tiga kali lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan taruhan saat itu bukan hal sepele: nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka tempuh demi menyongsong investasi besar, meraih surga.

Begitulah Allah menggambarkan mereka dalam surah Albaqarah ayat 214. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Menyadari bahwa azab Allah teramat pedih
Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: surga atau neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 80: 34-37)

Mulailah bayang-bayang pedihnya siksa neraka tergambar jelas. Kematian di dunia cuma sekali. Sementara, di neraka orang tidak pernah mati. Selamanya merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya.

Seperti apa siksa neraka, Rasulullah saw. pernah menggambarkan sebuah contoh siksa yang paling ringan. “Sesungguhnya seringan-ringan siksa penghuni neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya. Sedangkan ia berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berat siksaannya daripada itu, padahal itu adalah siksaan yang paling ringan bagi penghuni neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Belum saatnyakah kita menangis di hadapan Allah. Atau jangan-jangan, hati kita sudah teramat keras untuk tersentuh dengan kekuasaan Allah yang teramat jelas di hadapan kita. Imam Ghazali pernah memberi nasihat, jika seorang hamba Allah tidak lagi mudah menangis karena takut dengan kekuasaan Allah, justru menangislah karena ketidakmampuan itu

Minggu, 24 Juni 2012

FAdhilah Bulan sya'ban (jawa)

Kita sedaya sami ngawuningani bilih wulan Sya’ban menika kalebet wulan ingkang mulya lan agung, inkang mekaten menika nitik tindakipun Junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad katah nindakaken prihatosan shiyam ing wulan Sya’ban ngaten punika . Kados dawuh hadits riwayat saking Siti ‘Aisyah, Panjenenganipun ngendika :
مـا رأيــت رسـول الله صـلىالله عـلـيـه وســلـم  اسـتـكـمل صـيـام شـهـر قط الا شـهـر رمـضــان  ومـا رأيـتـه فى شـهـر أكـثر  مــه صـيــامـا فى شـعـبــان
“Aku durung tahu ngerti Rasulallahu Sallallahu ‘alaihi wa sallam nyampurnaake pasa sewulan natas sak liyane wulan Romadlon, lan aku durung tahu weruh Panjenengane Kanjeng Nabi pasa ing sawijining wulan kang luwih akeh saka   wulan Sya’ban” (HR.Bukhari Muslim).
Saking dawuh menika saget dipun fahami bilih wulan Sya’ban menika sanget istimewa menggah Kanjeng Nabi ngantos mboten wonten wulan sanesipun Wulan Ramadhan ingkang katah dipun pasani dining Panjenenganipun kados dene wulan Sya’ban. Menapa jalaranipun ? Wonten sawenehing shahabat ingkang nyuwun pirsa dateng Kanjeng Nabi babakan menika, inggih anggenipun Kanjeng Nabi katah shiyam ing wulan Sya’ban. Panjenenganipun lajeng paring dawuh :
ذلـك شـهـر يـغـفـل الـنــــاس عـنــه بـيـن رجب ورمـضــان وهـو شـهـرتـر فــع فـيــه الأعـمـال الى رب الـعــالمــين فـأحب ان يـرفـع عمــل وأنــا صــائم
“Wulan Sya’ban iku wulan kang akeh dilalek ake dening akehe manungsa, manggone ing antarane wulan Rojab lan Ramadhan, ya ing wulan Sya’ban kuwi ngamale manungsa diaturake ing ngarsane Allah Kang Mangerani kabeh alam. Mula aku seneng menawa ngamalku diaturake lan wektu kuwi aku lagi  pasa” (HR. Abu Dawud lan Nasa’i).
Para sederek Kaum Muslimin  ingkang Minulya
Minangka mulyaaken wulan Sya’ban ingkang agung menika kejawi kita nambahi ta’at nanging kita ugi kedah ngeker lan mekak nafsu kita saking lampah makshiyat lan duraka dateng Allah supados Allah tansah paring pangreksa dateng kita saking samukawis balak lan coba ing saklebetipun gesang punika. Jalaran  Kanjeng Nabi sampun paring dawuh mekaten :
من عـظـم شــعـبــان واتـقى الله تـعــالى وعـمـل بـطـاعــتـه وأمـنـه  وأمـسـك نـفــســـه عـن الـمـعـصـيـة غـفر الله تـعــالى  ذنـوبـه وأمــنــه مـن كل مــا يــقــون فى تـلـك   الــســنــة مـن الـبـلا يــا والأمرض
“Sing sapa wonge ngegungake wulan Sya’ban sarana taqwa marang Allah Ta’ala, lan ngamal tha’at marang Allah,   uga nahan nafsune sangka ma’shiyat, mangka Allah bakal paring pangapura marang   dosa dosane, lan Allah bakal paring slamet sekabehe bala’ bencana lan pirang pirang penyakit kang kedadean   ing tahun kuwi” .
Ningali semanten peparing kanugerahanipun Allah dateng tiyang ingkang mulyakaken wulan Sya’ban, eman sanget menawi kita mboten nampi kanugerahan punika.  Langkung langkung ing mangsa punika mushibah kongang dumados sak wanci wanci, seget temama dateng sinten kemawon, sahingga raos ajrih lan kuatos tansah sliweran ing manah kita. Pramila kagem sarana wilujengan nyuwun pangreksan mboten wonten ingkang paling leres kejawi namung dateng ingkang kagungan , inggih Allah Ta’ala. Saweneh caranipun nderek lan nindak aken dawuh Nabi kasebat, nambahi tha’at lan nyuda ma’shiyat ing wulan Sya’ban menika. Mekaten ugi minangka sarana panyuwunan pangreksa dateng Allah saking sak wernining penyakit, ingkang sinaosa mboten ganas ndumugekaken seda nanging nguras duit, sinaosa mboten nggondol nyawa nanging nelasaken banda, punika sedaya kongang dumugi saben wanci.  
Para sederek Kaum Muslimin  ingkang Minulya
Nabi mboten sekedar ndawuhi nanging ugi nyontoni, mila sakmestinipun kita nderek dateng tindakipun, inggih amergi tindakipun kanjeng Nabi menika lajeng kita dipun sunnataken shiyam ing wulan Sya’ban menika. Ananging kita ugi kedah faham pranatan syari’at, jalaran shiyam wulan Sya’ban ngaten punika kedah saderengipun tanggal setengah, bakda nisfu Sya’ban ita dipun haramaken shiyam sunnat kejawi menawi anggenipun shiyam wiwit sak derengipun, utawi sampun ngadataken ing saben wulanipun kadosta upaminipun ingkang sampun mbiyasakaken shiyam sunnat Senen Kemis .
Mekaten ugi amaliyah amaliyah sanes ingkang prayogi dipun tindakaken,  langkung langkung ing wekdal malem Nishfu Sya’ban. Ingkang ugi dipun dawuhaken dening Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam :
اذا كان لـيلـة الـنـصـف  من شـعـبـان فـقـومـوا لـيـلـهـا وصـومـوا نـهــارهــا , فـان الله تـعــالى فى تـلـك اللـيلـة يـنـزل الى سـمـاء الـدنـيـاعـنـد غروب  الـشمس  فيـقـول : هـل مـن ســائل  فـاعــطيــه سـؤلــه , وهـل مـن مـســتـغـفــر فـأغـفــرله وهـل مـن مـسـترزق فــأرزقـه حتى يـطلـع الفـجر
 
“Nalika tengahe  wulan Sya’ban wis tumeka , mangka pada tangiha  tumandang  ngibadah sira kabeh ing wektu bengine,  lan pada pasaha ing rinane. Jalaran Allah Ta’ala ing wengi kuwi nurunake rahmat  ing langit dunya nalikane surup  serngenge, nuli paring dawuh ; “Sapa sing nyuwun mesti Ingsun paringi apa panyuwunane. Sapa sing nyuwun apura , mesti Ingsun paringi pangapura, sapa sing nyuwun rizki mesti Ingsun paringi, mengono iu nganti tumeka mletekke fajar”.
Mekaten agungipun wulan sya’ban, pramilo ngantos poro ulama ndawuhi bilih mpun dugi malem nisfu sya’ban kito dipun aturi maos yasin kaping 3 engkang sepindah dipun niati nyuwun pangapunten, kaping kaleh dipun niati nyuwun yuswo ingkang panjang lan barokah, lan kaping tigo dipun niati nyuwun rizki ingkang kathah lan barokah. Insyaallah kanti fadhilhipun suroh yasin do’a meniko saget ijabah.
Para sederek Kaum Muslimin  ingkang Minulya
Wonten ing wulan sya’ban meniko Wonten ing masyarakat kita sampun dados kabudayan ingkang sae secara turun tumurun ngantos sak menika, ingkang mboten nate dumados ing wulan sanesipun Sya’ban. Inggih puniko nyadranan. engkang Tujuan awalipun estunipun setunggal, inggih punika Birrul walidain, bektos dateng tiyang sepuh kalih. Menika jelas ngrupekaken kwajiban tumrap sedaya manungsa. Ingkang dipun dawuhaken dening Allah wonten ing Al Qur’an, sami ugi tiyang sepuh tasih sugeng utawi sampun seda. Ing antawisipun kanti cara nyuwunaken pangapunten lan ndungakaken nyuwunaken rahmat kangge tiyang sepuh kalih. Langkung langkung kagem tiyang sepuh ingkang sampun seda, kanti dipun ziarahi ing makamipun,   dipun suwunaken pangapunten saha dipun suwunaken rahmat kawelasan dateng Allah. Ngaten menika antawisipun bekti dateng tiyang sepuh, kados dawuh dalem Allah Ta’ala :
واعـبـدوا الله ولاتشــركـوابــه شـيـأ وبـالـوالـديـن احـسـانـا
“Sira kabeh pada nyembaha ing Gusti Allah, lan aja pada nyekutokake sira ing Allah kelawan apa wae . lan bada bektiya sira ing wong tuwa loro” ( An Nisa : 36 ).
Inggih kangge tujuan birrul walidain menika asal usul upacara nyadran . Karena kasunyatan katahipun masyarakat anggadahi tujuan lan seja ingkang sami, wonten ing wekdal lan papan ingkang sami sahingga wonten mufakatan ngleksanaaken tujuan menika   kanti sesarengan. Wonten ing riku tuwuh kesaenan kesaenan ingkang katah, antawisipun saget sami silaturrahim, sami saget ngedalaken shodakohan, maos maos kalimah dzikir lan Qur’an, kadang kadang wonten pengaosan beberipun ilmi saking ulama lan tasih katah kesaenan sanes sanes ipun. Sedaya punika terang minangka dawuh agami kita. Pramila estu tradisi lan pengadatan meniko prayogi kita uri uri lan kita jagi, ampun ngantos dipun kotori kanti kemakshiyatan ingkang ngrisakaken dateng tujuan utami nyadranan punika.
Para sederek Kaum Muslimin  ingkang Minulya,
Wondene ndungakaken dateng ahli kubur saking sederek sederek kita langkung langkung leluwur kita ingkang mukmin, sanget gamblang dawuhipun Allah wonten ing Al Qur’an :
والـذيـن جـائـوامـن بـعـدهـم  يـقـولـون  ربـنـا اغـفـرلـنـا ولاخوانـنـاالـذيـن سـبـقـونـا بـالايـمـان
Lan wong wong kang tumeka sak wuse wong kang pada ndisiki (Muhajirin lan Anshar), wong wong kuwi pada ndonga “ Duh pangeran kula mugi ngapuntena Paduka dateng kula  lan sederek sederek kula ingkang sami iman  langkung rumiyin katimbang kula ”.(QS.Al Hasyr : 10).
Lan malih dawuhipun :
واسـتـغـفـر لـذنـبـك وللمـؤ مــنـيـن والمـؤمـنـات
“Lan nyuwuna ngapura sira kanggo dosanira lan dosane wong wong mukmin lanang lan wadon “.   (QS. Muhammad : 19).
Kekalih ayat kasebat kanti terang Allah ndawuhaken dateng kita supados nyuwun ngapura kangge kita piyambak lan ugi sederek sederek kita tiyang tiyang mukmin ingkang sampun ngrumiyini seda.
Mekaten ugi hadits hadits dawuh Nabi katah sanget ingkang ndawuhaken ita supados nyuwunaken pangapunten dateng sederek sederek mukmin ingkang sampun seda, antawisipun hadits ingkang dipun riwayataken saking shahabat Utsman bin Affan RA.:
كان  الـنبي صلى الله  علـيـه وسلم  اذا فرغ  من دفـن الميـت  وقف  علـيـه  وقـال : استغـفروا  لأخيكم  وسـلـوا لـه بـالـتسـبيـت  فـانـه  الأن  يـســأل
“Nalika Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam   wis rampung saka ngubur sawijining mayit, Panjenengane jumeneng ana ing sak pinggire  kubur nuli ngendika “Nyuwuna ngapura sira kabeh kanggo sedulur ira, lan suwunna tetepe iman, amerga ing sa’at iki deweke lagi didangu dening   Malaikat”(HR.Abu Daud).
Para sederek Kaum Muslimin  ingkang Minulya,
Sedaya ingkang lumampah ing masyarakat ingkang sampun dados pengadatan wonten ing wulan Sya’ban punika, sakestu sedayanipun wonten dawuh tuntunanipun, tentu sifatipun umum mboten dawuh ingkang sifatipun khusus kedah lumampah ing wulan Sya’ban punika mboten.
Mugi mugi niyat lan seja ingkang sae, lan ugi kanti amaliyah ingkang sampun lumampah punika, sageta tinampi maqbul saha pikantuk karidlan wonten saking ngarsa dalem Allah Ta’ala.

Jumat, 22 Juni 2012

Munajat cinta


Rabbi....
Jika cintaku kau ciptakan untuk dia
Tabahkan hatinya
Teguhkan imannya
Sucikan cintanya
Lembutkan rindunya

Rabbi...
Jika hatiku kau ciptakan untuk dia
Penuhi hatinya dengan Kasih-MU
Terangi langkahnya dengan Nur-Mu
Bisikkan kedamaian dalam kegalauan
      Temani dia dalam kesepian

Rabbi...
Kutitipkan cintaku pada-Mu untuknya
Resapkan rinduku pada rindunya
Mekarkan cintaku bersama cintanya
Satukan hidupku dan hidupnya
dalam cinta-Mu
sebab,sungguh aku mencintainya karena-MU

Senin, 18 Juni 2012

Do'a Sholat Tahajjud

اَللَّھُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِیْھِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَیِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِیْھِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِیْھِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِیْھِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنّةُُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِیُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اَللَّھُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَیْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَإِلَیْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَیْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلَھَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْتَ إِلَھِيْ لاَ إِلَھَ إِلاَّ أَنْتَ.
“Ya, Allah! Bagi-Mu segala puji,
Engkau cahaya langit dan bumi serta seisinya. Bagi-
Mu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan
bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau
Tuhan yang menguasai langit dan bumi serta seisinya.
Bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu kerajaan langit dan
bumi serta seisi-nya. Bagi-Mu segala puji, Engkau
benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, bertemu
dengan-Mu benar, Surga adalah benar (ada), Neraka
adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah
benar, (terutusnya) Muhammad adalah benar (dari-
Mu), peristiwa hari kiamat adalah benar. Ya Allah,
kepada-Mu aku pasrah, kepada-Mu aku bertawakal,
kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku kembali
(bertaubat), dengan pertolongan-Mu aku berdebat
(kepada orang-orang kafir), kepada-Mu (dan dengan
ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh karena itu,
ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan
datang. Engkaulah yang mendahulukan dan
mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah
kecuali Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada
Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau”.

اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد   نبي الرحمة يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقضى لي اللهم شفعه في وشفعني فيه

Wahai Allah, sungguh aku memohon pada Mu, dan menghadap dan mengemis pada Mu demi Nabi Mu Muhammad (saw) Nabi Rahmat, wahai Muhammad sungguh aku menghadap denganmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini, maka hingga engkau mengabulkannya, Wahai Allah jadilah beliau saw membantuku dan jadikan aku dikelompok orang orang yg dibantu oleh beliau (saw).

aku dan Rabbku

“Basahilah lidahmu dengan dzikir” duh.. sudah berapa kali saya denger hadist ini tapi …waktu yang digunakan untuk berdzikir masih sedikit, padahal Allah berfirman “AKu bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku”. Allahu Akbar. Luar biasa, mencoba untuk melakukan variasi dalam berdzikir kenapa tidak ? La illahaillallah adalah sebaik2 dzikir …wueshh pikiranpun mulai menerawang balasan apa yang akan Allah kasih jika saya mengucapkan Laillahailallah 1x apakah senilai uang 1 juta,10 juta atau 100 juta, lebih, pasti lebih dari itu di hadapan Rabbul Izzati. Subahannallah. Rugiii…..berapa sudah waktu yag hilang, uang yang hilang, istana yang tertunda di surga nanti – InnaLillahiwainaillaihi’irojiun. Ga papa kan berdagang dengan Allah.

Imam Al Ghazali dalam risalahnya Al Asma Al Husna menuliskan kecintaan kepada Allah bisa ditingkatkan dengan tiga cara ; (i) mengingatnya (ii) mempercayainya (iii) mempertahankannya. Begitu pula Pak Ary Ginanjar dalam bukunya “Rahasia membangun kecerdasan Emosional dan Spiritual” beliau menulis bahwa seorang hamba bisa menjadi manusia yang luar biasa jika mau meneladani sifat-sifat Allah dengan cara mengingat-ingatnya dan meneladani sifat-sifat-Nya.

Sesungguhnya antara hamba dengan Rabbnya ada 2 panghalang ; (i) ilmu dan (ii) ego (Aku).

Perasaan jenuh, bosen, mandek atau tidak ada peningkatan terkadang datang pula, tapi ingat pesan “yang mencari akan menemukan” ada secercah harapan untuk mencari lagi, baik itu dari buku, artikel baik itu di majalah atau di internet, seminar , maupun taklim - apa saja. Alhamdulillah masih ada rasa haus yang belum terpuaskan dengan minuman yang standard. Mencoba untuk flash back ke zaman para sahabat yang memiliki tingkat keimanan yang mempesona dan berdecak kagum setiap kali membaca kisahnya, sudah tentu pengetahuan mereka tentang surga, neraka, negri akhirat dan segala sesuatu yang terjadi didalamnya berbeda dengan pengetahuan saya dan itu mungkin yang membuat tingkat keimanan saya seolah tak bergerak.

Ego, Aku “barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya dan barang siapa yang mengenal dirinya maka tidak ada waktu untuk mencari kesalahan orang lain”. Ada perasaan aneh menghampiri ketika mencoba berlama-lama bercermin. sudah berapa jauh saya mengenal diri saya dengan baik dan sudah berapa lama saya menyadari begitu sangat rentannya melakukan kesalahan setiap detik.

Menjadi milik-Nya bukan sebaliknya menjadikan Allah sebagai milik saya dan mengikuti semua keinginaan saya – Naudzubillahiminzalik, kebodohan apalagi yang saya lakukan berlarut-larut. STOP. “Ya Rabb biarkan aku menjadi milik-Mu selamanya…menyatu bersama-Mu, biarkan jiwa ini terbakar oleh cahaya-Mu..cinta-Mu”.

Teringat kembali firman Allah SWT “Sesungguhnya Aku mengikuti perasaan hamba-Ku terhadap-Ku” kenapa tidak saya coba untuk mengatakan ke diri saya sendiri dengan menggunakan 3 metode dari imam Al Ghazali diatas : “saya selalu bersamaMu ya Allah” (bukannya saya ingin bersamaMu), “saya selalu mencintaiMu ya Rabb” (bukannya saya ingin mencintai-Mu), “saya selalu merindukan-Mu ya Tuhanku”. Ada perasaan puas yang mengalir, seolah-olah sesuatu yang sudah tercapai dan tinggal menikmati saja perjalanan hidup bersama Al Malik, Al Aziz. Perasaan tenang, aman, damai, bahagia yang selama ini dicaripun mulai rajin menjenguk orang pesakitan seperti saya. Wallahua'lam bi shawab.

Kamis, 14 Juni 2012

Al-Balkhi dan Si Burung Pincang

Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.

Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, tidak ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama al-Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi. Sahabatnya menjadi heran, mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di masjid langsung bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya. "Wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat?"

"Dalam perjalanan", jawab al-Balkhi, "aku melihat suatu keanehan, sehingga aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan".

"Keanehan apa yang kamu maksud?" tanya Ibrahim bin Adham penasaran.

"Ketika aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak", jawab al-Balkhi menceritakan, "aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. "Bagaimana burung ini bisa bertahan hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa".

"Tidak lama kemudian", lanjut al-Balkhi, "ada seekor burung lain yang dengan susah payah menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan makanan, karena ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat".

"Lantas apa hubungannya dengan kepulanganmu?" tanya Ibrahim bin Adham yang belum mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.

"Maka aku pun berkesimpulan", jawab al-Balkhi seraya bergumam, "bahwa Sang Pemberi Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupkan rizkiku sekali pun aku tidak bekerja". Oleh karena itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga".

Mendengar penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, "wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang lagi buta itu? Mengapa kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup dari belas kasihan dan bantuan orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah?"

Al-Balkhi pun langsung menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam mengambil pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung bangkit dan mohon diri kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, "wahai Abu Ishak, ternyata engkaulah guru kami yang baik". Lalu berangkatlah ia melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat tertunda.

Dari kisah ini, mengingatkan kita semua pada hadits yang diriwayatkan dari Miqdam bin Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, yang artinya: "Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik bagi seseorang untuk makan selain dari memakan hasil karya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud 'alaihis salam makan dari hasil jerih payahnya sendiri" (HR. Bukhari).

Selasa, 12 Juni 2012

Bekal Utama Berumah Tangga

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada suatu keluarga. Dia memperdalamkan pengetahuan agama kepada mereka. Menjadikan anak-anak mereka menghormati orang tua mereka. Memberikan kemudahan pada kehidupan mereka. Kesederhanaan dalam nafkah mereka dan memperlihatkan aib mereka, sehingga mereka menyadarinya,lalu menghentikan perbuatannya. Namun,apabila menghendaki sebaliknya, Dia meninggalkan dan menelantarkan mereka.” (H.R. Daaruqthni )

Semoga Allah yang Maha Mengatur Segala Kejadian serta Maha Memudahkan Segala Urusan melindungi hamba-hamba-Nya dari sikap berkecil hati,terutama manakala kepada kita dikaruniakan niat dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup. Sebagian kecil dari kisah kehidupan yang terpapar berikut ini, masya Alloh,telah menunjukan kepada kita betapa tidak mudah mengayuh bahtera rumah tangga itu. Tidak cukup hanya diawali dengan keinginan untuk menikah belaka. Karena, ternyata tidak sedikit pasangan yang telah memasuki dunia rumah tangga menemui kenyataan bahwa pergantian hari-harinya telah menjadi pergantian kesusahan yang satu ke kesusahan berikutnya. Pernik-pernik masalah seakan telah menjadi seluruh dinding rumahnya.

Seorang ibu rumah tangga yang mengaku telah 16 tahun berumah tangga serta telah dikaruniai 3 orang putra-putri yang sehat dan cerdas, menumpahkan keluhan mengenai masalah rumah tangganya di rubrik konsultasi sebuah surat kabar. Dari segi materi duniawi, mereka keluarga yang berkecukupan karena keduanya bekerja di kantor.

Akan tetapi, ada ganjalan yang semula diabaikan dari pikiran sang istri. Ia merasakan pernikahannya terasa manis pada hari Sabtu dan Minggu saja, yakni ketika keduanya tidak ngantor, sehingga dapat berkumpul dengan seluruh keluarga. Selebihnya, dari Senin sampai Jumat, terasa hambar. Suaminya berkantor di sebuah gedung pusat perkantoran modern, yang menurut anggapan sang istri, tentulah setiap harinya akan bertemu dengan segala macam wanita, dari yang berbusana minim sampai yang bergaun sebatas tumit. Pemandangan semacam itu akan ditemui sang suami dari Senin hingga Jumat. Sedangkan, sang istri mengaku penampilannya di rumah biasa-biasa saja. Kini ia rasakan tidak lagi seramping dulu. Rata-rata suaminya pergi ke kantor sejak subuh dan pulang malam hari. Artinya, selama 15 jam setiap harinya. Ketika tiba di rumah pun, kegiatan-nya hanya makan malam, lalu pergi tidur. Begitu yang terjadi setiap hari. Suaminya seperti sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk berbincang-bincang dengannya. Kalaupun ia bertanya tentang sesuatu, jawaban yang keluar dari mulut sang suami singkat-singkat saja. Kalau suatu ketika ia bercerita tentang sesuatu, ia tidak tahu apakah didengarkan atau tidak karena suaminya Cuma diam dan acuh tak acuh. Kalaupun mengomentarinya, pastilah kata-kata yang terlontar itu berbau memojokkan sang istri.

Satu hal yang paling ia benci adalah saat tiba hari Minggu malam. Sepulang dari suatu tempat, biasanya suaminya mulai ketus. Bahkan tidak jarang keduanya terlibat lagi dipersoalkan sang suami adalah sikap sang istri yang dinilai cerewet dan suka mengatur. Suaminya mulai bersikap baik lagi kalau tiba Jumat malam. Karena, Sabtu paginya mereka akan berkumpul bersama lagi hingga Minggu petang. Yang lebih repot lagi, ia sering bermimpi bahwa suaminya menyeleweng dengan wanita lain. Sehingga, kalau sang suami lagi tampak terdiam melamun, ia pun langsung teringat akan mimpinya tersebut. Karuan saja dari hari ke hari kian bergumpal kecemasan dan kegelisahan yang tak berujung dan berpangkal.

Itulah gambaran tentang satu sisi getir dari kehidupan berumah tangga, yang bias dialami oleh siapa saja, tanpa terkecuali. Lebih-lebih pada pasangan muda, yang notabene pengalaman berumah tangganya masih sedikit. Tentu cerita nyata ini tidak mengajak siapa pun untuk bersikap pesimistis dan cemas sebelum berbuat. Bagaimanapun pernik-pernik problematika rumah tangga semacam ini bisa juga terjadi menimpa kita. Terutama, kalau ada sesuatu yang tidak sempat kita persiapkan, baik sebelum memasuki gerbang pernikahan maupun setelah menjalani kehidupan berumah tangga. Faktor-faktor apa saja yang perlu kita persiapkan itu? Mudah-mudahan beberapa “resep” ini kalau dicoba diterapkan, bisa membuat perjalanan pernikahan yang kita titi menjadi indah dan menenteramkan kalbu.

Bekal Ilmu
Faktor yang pertama adalah bahwa sebuah rumah tangga akan menjadi kokoh,kuat, dan mantap kalau suami istri sam-sama mencintai ilmu. Rasullulah SAW pernah bersabda,  ”Barangsiapa yang menginginkan dunia,(mendapatkannya) harus memakai ilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat,(mendapatkannya) harus memakai ilmu. Barangsiapa yang menginginkan dunia dan akhirat (mendapatkannya pun) harus memakai ilmu.”

Artinya, bila ada yang bertanya, mengapa rumah tangga yang dijalaninya terasa berat, banyak kesulitan, dan tidak menemukan kedamaian, jawabannya adalah karena ternyata ilmu tentang berumah tangga yang dimiliki tidak sebanding dengan masalah yang dihadapi. Setiap hari akan selalu bertambah maslah, kebutuhan, maupun peluang munculnya konflik. Semua ini merupakan kenyataan hidup yang tidak akan pernah bisa dipungkiri .Bila pertambahan segala pernik kehidupan ini tidak diimbangi dengan pertambahan ilmu untuk menyiasatinya, maka pastilah sebuah keluarga tidak akan pernah mampu menghadapi hidup ini dengan bai Jangan heran kalau rumah tangga yang seperti ini bagaikan perahu yang kelebihan muatan. Dia akan tampak oleng, miring ke kiri, tak mau melaju denhgan semestinya, bahkan bias-bisa akan tenggelam karam.

Adapun ciri khas yang tampak adalah para penghuni rumah tangga itu selalu sangat mengandalkan emosi di dalam mengatasi setiap masalah yang muncul.
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Q.S.Shaad [38]:26

Ciri khas yang tampak dari keluarga yang tidak memiliki ilmu dalam berumah tangga adalah para penghuninya selalu sangat mengandalkan emosi di dalam mengatasi setiap masalah yang muncul . Betapa tidak ! Karena, mereka tidak pernah tahu bagaimana cara menghadapi masalah yang selalu muncul seiring bertambahnya jumlah anggota keluarga. Seorang ayah yang kurang ilmu akan sangat mengandalkan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan yang muncul. Ini dikarenakan semakin hari tuntutan kebutuhan hidup terus meningkat , sehingga potensial akan bertumpuk dalam pikiran , berjalin berkelindan dengan beban stressing mental karena rutinitas kesibukan kantor.Manakala iman tengah menipis, kendati batin pun akan mengendur. Ini mengakibatkan tindakan mencari nafkah untuk mengatasi pertambahan kebutuhan tersebut menjadi kurang terkontrol. Tak ayal , pertimbangan halal haram dan hak bathil pun jadi tertepiskan. Keberkahan atas rezeki yang diperoleh pun praktis terkikis. Ketika rezeki itu telah dinikmati oleh istri dan anak-anak di rumah, maka tidak bisa tidak , ia bukannya membuahkan ketenangan batin, melainkan kegundahgelisahan, yang ujung-ujungnya malah bisa menaikkan kadar emosionalitas sang ayah.

Sementara itu, anak-anak semakin hari semakin beranjak besar. Ketika masih bayi mereka butuh perhatian khusus. Keterbatasan ilmu orang tua, tidak bisa tidak, akan mengakibatkan bayi menjadi teraniaya, baik ketika itu maupun setelah mereka besar kelak. Tidakkah kalau mereka menjadi penyakitan karena orang tua tidak mengetahui cara memperhatikan aspek kesehatan mereka, akan membuat mereka menjadi sengsara dan menderita hidup di dunia? Tidakkah kalau mereka kelak menjadi rendah kadar intelektualitasnya, akan membuatnya tidak memiliki prestasi hidup, sehingga menjadi manusia yang gagal dan tersisihkan? Bukankah kalau kelak mereka menjadi anak-anak nakal, tersesat dari jalan yang benar akan membuat mereka menderita dunia akhirat ? Masih banyak lagi akibat buruk lainnya yang akan menimpa anak-anak karena kita para orang tua tidak memiliki bekal ilmu.

Belum lagi kalau pihak orang tua terlalu mengandalkan emosi dan kekerasan, sehingga praktis segala pendekatan yang kita gunakan hampir bisa dipastikan selalu membuahkan kegagalan dalam memecahkan masalah. Menghadapi anak-anak yang nakal dan enggan menuruti nasihat orang tua, misalnya. Tentulah akan didekati dengan kepala and hati yang panas membara. Menghadapi istri yang terkesan rewel , sok mengatur, dan mulai membosankan , atau sebaliknya, menghadapi suami yang terkesan otoriter , banyak tuntutan , sering telat pulang ke rumah, misalnya. Tentulah semua itu akan membuat rumah menjadi terasa gerah karena darah yang selalu bergolak panas. Na’udzubillah!

Walhasil, sekiranya ada diantara suami-istri yang jarang mendatangi majelis-majelis ilmu, enggan menyisihkan waktu untuk membuka bahan bacaan ataupun berdialog dengan orang yang lebih tahu, hampir dapat dipastikan rumah tangganya akan tidak seimbang, akan selalu dekat dengan kesusahan dan penderitaan batin, tidak arif dalam menyelesaikan aneka masalah, dan bukan mustahil akan berujung pada kegagalan yang sangat menyakitkan dan merugikan. Oleh karena itu, tampaknya kita harus mempersiapkan bekal ilmu ini justru semenjak kita berkeinginan untuk menikah. Atau, kalaupun kita sudah lama berumah tangga , belum terlambat untuk menyadari bahwa ilmu adalah bekal utama yang harus segera digapai. Jangan merasa sayang untuk menyisihkan sebagian dari waktu maupun penghasilan nafkah kita untuk menambah ilmu. Apakah itu untuk membeli buku dan bahan bacaan lainnya yang dibutuhkan, untuk mendatangi majelis-majelis ta’lim yang di dalamnya justru tidak hanya bertaburkan ilmu, tetapi juga rahmat dan pertolongan Allah , mengikuti training, kursus, dan sejenisnya.

Ingat, gagalnya seorang ayah atau ibu dalam menyelesaiakan aneka masalah yang muncul di tengah-tengah keluarga, bukannya karena masalahnya yang berat atau rumit, melainkan lebih dikarenakan lemahnya keterampilan dan sikap kita dalam menyikapi dan menyiasati masalah itu sendiri.

Jangan salahkan siapapun kalau rumah tangga kita dari hari ke hari selalu terasa runyam dan tidak nyaman. Salahkanlah diri sendiri sebagai orang tua yang enggan menjadikan ilmu sebagai bekal utama untuk mengarungi samudera kehidupan yang memang penuh ombak dan badai ini. Ilmu agama adalah utama, tetapi ilmu dunia pun tak kalah pentingnya. Rumah tangga yang tidak dekat dengan ilmu adalah rumah tangga yang akan selalu dekat dengan kesusahan dan kesempitan. Camkanlah!

Gemar Beramal
Ternyata setiap ilmu itu tidak membawa manfaat, kecuali bila sudah mewujud dalam bentuk amal. Rumus kehidupan ini sebenanya sederhana saja, yakni: seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu dari apa yang diinginkan, tetapi dari apa yang bisa ia lakukan. Karenanya, syarat yang kedua bagi tercapainya rumah tangga yang ideal setelah menguasai ilmu adalah gemar mengamalkannya. Hidup ini bagaikan gaung di pegunungan. Apa yang kembali kepada kita tergantung dari apa yang kita bunyikan. Sekiranya menginginkan suatu kebaikan menghampiri kita, maka ia tidak bisa datang hanya dengan cara meminta orang lain berbuat baik. Akan tetapi, terlebih dulu harus melakukan suatu kebaikan kepada orang lain.

Suami yang sibuk menyayangi dan membahagiakan istrinya lahir batin, niscaya akan mendapatkan balasan yang amat mengesankan dari sang istri. Demikian pun kalau istri ingin disayangi dan dibahagiakan suami. Jawabannya hanya satu : barangsiapa bisa memuliakan suaminya dengan ikhlas, Allah pun akan melembutkan hati sang suami untuk menyayanginya dengan penuh keikhlasan pula.
“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”(Q.S. Al-An’aam [6]: 132)

Jangan menuntut sesuatu kepada orang lain, tetapi tuntutlah terlebih dahulu diri kita untuk berbuat suatu kebaikan semaksimal mungkin. Tidakkah Allah Azza wa Jalla telah berfirman,”Barangsiapa yang mengerjakan kebaiakan sebesar dzarrah pun,niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasannya) pula. ?”(Q.S. Az-Zalzalah[99]:7-8 ). Artinya, segalanya tergantung kita. Sesungguhnyalah balasan Allah itu akan sangat dirasakan adilnya mana kala kita menyadari satu hal, yakni bahwa segalanya akan kembali kepada kita, tergantung apa bentuk amal yang dilakukan.

Camkan sekali lagi :bahwa kita tidak akan mendapatkan sesuatu dari apa yang kita inginkan dan harapkan, tetapi kita akan mendapatkan banyak dari apa yang diberikan. Semakin gemar bersedekah, maka insya Allah akan semakin melimpah rezeki hak kita dari -Nya. Semakin senang menolong orang lain, akan semakin banyak pula orang menolong kita. Semakin kita biasakan untuk membahagiakan dan memudahkan urusan orang lain, maka rasakanlah, betapa akan semakin banyak hal-hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan sementara segala urusan kita pun dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla. Hendaknya di mana kita berada harus membuat orang lain merasa diuntungkan dengan kehadiran kita. Setidaknya keberadaan kita jangan sampai merugikan orang lain. Rumah tangga yang memiliki komitmen hidup semacam ini niscaya akan mendapati betapa jaminan Allah itu teramat mengesankan. “ Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Menegtahui.”(Q.S. Al-Baqarah[2]: 158)

Sebaliknya, semakin pelit kepada orang lain, maka hidup ini akan terasa banyak menemukan kesulitan. Semakin senang berlaku aniaya terhadap orang lain, niscaya akan semakin banyak yang menzhalimi kita. Demikian pun, rumah tangga yang banyak menyakiti orang lain, niscaya akan menjadi rumah tangga yang banyak tersakiti pula. Inilah rumus sunatullah yang akan dialami oleh siapapun, sebagaimana pula yang telah ditegaskan oleh-Nya, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. “(Q.S. Al –An’aam[6]:132)

Jadi,janganlah ingin menjadi suami yang disayangi istri, tetapi jadilah suami yang menyayangi istri. Janganlah ingin dihormati oleh anak-anak atau mertua, namun hormatilah mereka. Nanti toh semuanya akan kembali kepada kita jua. Janganlah ingin diberi sesuatu oleh tetangga, namun berilah mereka. Nanti Allah akan menggerakkan hati mereka untuk mengulurkan tangan bantuannya kepada kita. Walhasil, rumus yang kedua setelah ilmu sebagai bekal utama dalam berumah tangga, adalah hendaknya di mana pun kita berada menjadi orang yang selalu bisa berbuat sesuatu. Itulah amal-amal kebaikan.

Ikhlas
Ternyata sehebat apapun amal-amal kita tidak akan bermanfaat dihadapan Allah, kecuali amal-amal yang dilakukan dengan ikhlas. Orang yang ikhlas adalah orang yang berbuat sesuatu tanpa berharap mendapatkan apa pun ,kecuali ingin disukai oleh Allah. Inilah bekal utama ketiga dalam berumah tangga. Dalam mengarungi kehidupan ini akan banyak didapati aneka masalah. Kita pasti akan menemukan berbagai kesulitan ,kesempitan, dan kesengsaraan lahir batin, kecuali kalau mendapat pertolongan-Nya. Allah tahu persis kebutuhan kita, lebih tahu daripada kita sendiri. Dia tahu persis masalah yang akan menimpa kita , lebih tahu daripada kita sendiri. Karenanya, Allah menjanjikan , “Wa man yattaqillah yaj’allahu makhrajan.” (Q.S. Ath-Thalaaq [65]: 2) Rumah Tangga yang terus-menerus meningkatkan ketaatannya kepada Allah , akan senantiasa dikaruniai oleh-Nya jalan keluar atas segala urusan dan masalah yang dihadapinya. Anak-anak membutuhkan biaya , Allah akan mencukupi mereka karena Dia Dzat yang Mahakaya. Pelacur,perampok, dan orang-orang zhalim saja diberi rezeki,bagaimana mungkin anak-anak kita dilalaikan-Nya? Suami hatinya keras membatu, otoriter, dan suka bertindak kasar, apa sulitnya bagi Allah membolak-balikkan setiap hati, sehingga menjadi berhati lembut,baik, dan bijak.

Masalahnya, adakah keluarga kita layak mendapat jaminan-Nya ataukah tidak? Kuncinya adalah bahwa rumah tangga yang selalu dekat kepada Allah dan sangat menjaga keikhlasan dalam beramal, itulah rumah tangga yang layak memperoleh jaminan pertolongan -Nya. Semakin suatu rumah tangga jarang shalat, enggan bersedekah dan menolong orang lain, malas melakukan amal-amal kebaikan, ditambah lagi berhati busuk, maka semakin letihlah dalam mengelola rumah tangga ini. Rumah seluas apa pun akan tetap terasa sempit kalau hati para penghuninya sempit. Ketika berada di lapangan yang luas , lalu menemukan anjing atau ular, kita toh tidak merasa gentar. Akan tetapi, ketika di kamar mandi , berdua dengan tikus saja bisa jadi masalah.
Apa  sebab ? Di ruangan kecil, perkara kecil akan menjadi besar. Sebaliknya diruangn yang lapang, perkara besar akan menjadi kecil. Karenanya, rumah tangga itu akan dirasakan kebahagiaannya hanya oleh orang-orang yang berhati bersih dan ikhlas. Bila kita temukan beberapa kekurangan pada istri kita , bukan masalah , karena toh isteri kita bukan malaikat. Demikian pun kekurangan yang ada pada suami, janganlah sampai jadi masalah, karena suami pun bukan malaikat. Kekurangan yang ada untuk saling dilengkapi, sedangakan kelebihannya untuk disyukuri. Lain lagi,bagi yang berhati busuk, kekurangan yang ditemukan pada istri atau suami akan dijadikan jalan untuk saling berbuat aniaya. Na’udzubillah! [

“Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji. apa yang ada dalam hatimu Allah Maha Mengetahui isi hati”(Q.S. Ali Imran [3]: 154)

Dalam kaca mata ruhiyah,bersatunya seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam satu ikatan pernikahan, adalah berhimpunnya dua hati yang memiliki harapan mulia, yakni membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Demikianlah sesungguhnya yang dikehendaki Allah yang memiliki sifat Rahman dan Rahim, sebagaimana firman-Nya, “Dan diantara bukti-bukti kekuasaan-Nya ialah diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapatkan ketenangan hati dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran –Nya bagi orang-orang yang berpikir.”(Q.S. Ar-Ruum [30]: 21)

Namun, dalam sisi lain, ternyata ikatan pernikahan itu berarti juga berhimpunnya dua manusia yang memiliki aneka sisi perbedaan. Demikian pula halnya manakala dikemudian hari hadir anak-anak di tengah-tengah mereka. Jenis kelaminnya saja sudah berbeda, apalagi karakternya, emosinya, keinginannya ,harapannya, sikapnya terhadap sesuatu, dan sebagainya.

Kalaupun sepasang suami istri tampak sering sejalan dalammenyikapi dan melakukan berbagai hal, itu hampir dapat dipastikan karena ada upaya dari masing-masingnya untuk rela saling menahan diri serta saling mengorbankan apa-apa yang potensial bisa memicu perbedaan itu sendiri. Walhasil, lahirlah dalam rumah tangga yang mereka bina perasaan tenteram,lapang hati , dan cinta kasih.

Itulah pula hikmah dari pernikahan itu sendiri, yakni dikaruniai-Nya mereka nikmat sakinah, mawaddah, warahmah. Titik-titik perbedaan itu sendiri, sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan, terutama bila diantara mereka sudah tumbuh keinginan untuk saling memaksakan kehendak dan enggan saling menghargai aspirasi masing-masing. Apalagi dan biasanya kalau semua itu lahir dari karakter dan tingkat emosionalitas masing-masing. Tidak jarang kita temukan rumah tangga yang hari-harinya penuh dengan pertengkaran dan kesalahpahaman , sehingga tidak sedikit berakhir dimeja perceraian.

Inilah justru bagian dari fenomena yang mungkin akan dihadapi oleh setiap pasangan suami istri, sehingga kita butuh bekal yang efektif untuk menyikapi dan menyiasatinya, agar kemungkinan munculnya potensi konflik semacam ini bisa dihilangkan atau setidak-tidaknya diminimalisasi. Apakah bekal yang harus kita miliki itu ? Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla mengaruniai kita ilmu yang bermanfaat serta kesanggupan untuk mengamalkannya dengan tepat.

Bersih Hati
Setiap saat ujian dan aneka masalah bukan tidak mungkin akan datang mendera rumah tangga dengan tiba-tiba. Bagaimana seorang suami atau seorang istri menyikapinya, ternyata tergantung dari satu hal, yakni qalbu ! Terserah kita, apa yang akan kita lakukan dengan masalah itu? Mau dibuat rumit, perumitlah. Nanti kita sendiri yang akan melihat dan merasakan buahnya.Namun, mau dibuat sederhana juga, silakan sederhanakan , nanti kita pun akan melihat dan merasakan buahnya.

Setiap masalah dalam rumah tangga bisa menjadi rumit dan bisa juga menjadi sederhana,tentu bergantung bagaimana kondisi hati kita yang kita miliki, yang akhirnya membuat kita harus memutuskan langkah bagaimana menyikapinya. Padahal,bagi kita kuncinya hanya satu : sesungguhnya tak ada masalah dengan masalah karena yang menjadi masalah adalah cara kita yang salah dalam menyikapi masalah.

Oleh sebab itu, hati yang bersih adalah bekal utama keempat yang harus dimiliki oleh para pelaku rumah tangga, setelah memiliki bekal ilmu , amal,dan keiklasan. Bersih hati,tidak bisa tidak, akan menjadi senjata pamungkas dalam menyiasati serumit dan sesulit apapun masalah yang muncul dalam sebuah keluarga. Adapun buahnya hampir dapat dipastikan adalah rumah tangga yang tenang tenteram, penuh cinta kasih , dan selalu saling mengingatkan dalam hal mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Sedangkan rumah tangga yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, banyak dikumandangkan ayat-ayat -Nya, dan mampu menyempurnakan ikhtiar dalam mencari jalan keluar atas setiap masalah,niscaya akan menjadi keluarga yang sangat dekat dengan pertolongan–Nya dan akan menjadi suri tauladan bagi yang lain.

Subhanallah! Ujian dan masalah rumah tangga memang akan datang setiap saat, suka atau tidak suka. Namun,bagi suami dan istri yang berhati bersih ,semua itu akan disikapi sebagai nikmat dari Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena, bagaimanapun dibalik setiap ujian dan masalah itu pasti terkandung hikmah yang luar biasa mengesankan, yang akan semakin meningkatkan, kedewasaan dan kearifan, sekiranya mampu menyikapi segalanya dengan tepat, yang hal ini justru lahir dari hati yang bening dan bersih dari segala noktah-noktah kekotoran hawa nafsu.

Ujian dan persoalan hidup yang menimpa justru benar-benar akan membuat kita semakin merasakan indahnya hidup ini karena yakin bahwa semua itu merupakan perangkat kasih sayang Allah, yang membuat sebuah rumah tangga tampak semakin bermutu. Tidak usah heran, sehebat apapun kesulitan hidup yang menimpa, sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam.

Tidak usah heran, sehebat apa pun kesulitan hidup yang menimpa , sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam. Tidak akan pernah terguncang meski ombak dan badai saling menerjang. Pun laksana karang yang tegak tegar, yang tak akan pernah bergeser saat dihantam gelombang sedahsyat apapun. Sekali-kali tidak akan terbersit rasa putus asa ataupun keluh kesah berkepanjangan. Memang, betapa luar biasa para penghuni rumah tangga yang memiliki hati yang bersih. Nikmat datang tak akan pernah membuatnya lalai dari bersyukur. Andai pun musibah yang menerjang, ia akan mampu menegndalikan kayuh bahtera dengan tenang. Subhanalloh, sungguh teramat menegesankan. Wallahu a’lam Bisshowab (and).