Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Minggu, 21 Oktober 2012



AL-NÂSIKH WA AL-MANSÛKH



 










Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Studi al-Qur’an: Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu: Dr. Imam Muhsin, M.Ag


Disusun oleh:  
1.    Aris Hilmi Mubarok       (1220411182)






PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Diskursus tentang naskh dalam Alquran tidak dipungkiri lagi sebagai salah satu kajian yang cukup menarik sekaligus rumit. Hal ini menyebabkan para ulama terbagi kepada dua kelompok. Satu kelompok mendukung adanya naskh dan kelompok lain menolak eksistensi naskh dalam Alquran.
Perdebatan tersebut menurut Quraish Shihab berawal dari perbedaan para ulama dalam menghadapi ayat-ayat Alquran yang mempunyai makna kontradiksi dengan ayat lainnya.[1] Ketika ayat-ayat yang dianggap kontradiksi tersebut dikaji lebih jauh, ternyata – menurut sebagian ulama – dapat dikompromikan.
Pembahasan naskh dalam Alquran menjadi penting, karena Alquran adalah kitab suci, sebagai firman Tuhan. Kalau seandainya dalam Alquran sendiri ada ketidakkonsistenan, dengan adanya naskh (dalam pengertian kontradiksi), maka Islam secara keseluruhan dapat dianggap tidak konsisten dan dapat dengan mudah dirobohkan. Apalagi Alquran yang diturunkan hanya memakan waktu lebih kurang 23 tahun.
Dalam makalah yang sangat sederhana ini, penulis memberanikan diri untuk membahas tentang naskh, khususnya dalam Alquran. Pembahasan makalah ini meliputi: pengertian naskh, macam-macam naskh, perbedaan pendapat ulama tentang naskh, dan Hikmah mempelajarinya.
Dengan penuh kesadaran, penulis mengakui bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan dan kelemahan. Kritik yang membangun dan masukan yang berargumen dan bereferensi sangat diharapkan untuk perbaikan makalah ini mendatang, agar dapat dijadikan bahan baca umum.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan nasikh dan mansukh ?
2.      Bagaimana pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh ?
3.      Apa hikmah nasikh dan mansukh ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Nasikh Mansukh
Nasikh secara etimologi yaitu menghapus / mengganti / memindahkan / mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.[2] Seperti terlihat dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :[3]
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ
Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Mansukh secara etimologi yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.  
Arti nasikh mansukh dalam istilah fuqaha’ antara lain:
1.      Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru datang. Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi membolehkannya.
2.      Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti :
a.       Surat Al-Baqarah ayat 228;
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
Artinya : “wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' ”
b.      Surat Al-Ahzab ayat 49;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
Nas yang pertama umum; termasuk didalamnya istri yang sudah  didukul (dicampuri) dan yang belum. Sedang nas yang kedua khusus tertuju pada istri yang belum didukhul.
Jenis jenis nasakh ada 4 yaitu :
1.      Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
2.      Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
3.      Nasakh As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
4.      Nasakh As-Sunnah dengan As-Sunnah.[4]
Macam-macam Nasakh dalam Al-Qur’an :
Bagi uluma yang setuju dengan adanya naskh dalam Alquran, naskh dibagi menjadi tiga:
1.   Mansûkh tilâwah-nya, yakni redaksi ayatnya dalam Alquran, akan tetapi hukumnya tetap berlaku. Seperti pada ayat rajam:
الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما ألبتة نكالا من الله
Artinya, "Orang tua laki-laki dan perempuan apabila mereka berdua berzina maka rajamlah keduanya."

2.   Mansûkh hukumnya, sementara redaksinya tetap ada di dalam Alquran, seperti surat al-Mujadilah ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya, "Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini di-naskh hukumnya oleh surat al-Mujadalah ayat 13.
أَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya, "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
3.    Mansûkh tilâwah dan hukumnya sekaligus. Contohnya adalah:
عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس معلومات
Artinya, "Sepuluh kali susuan yang tertentu mengharamkan (ibu susunya untuk dinikahi), kemudian Kami hapuskan dengan lima (kali susuan) yang tertentu (saja)."[5]

B.     Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian naskh. Terlepas dari pendukung dan penentang nasikh-mansukh, Berikut ini penulis akan mencoba mengeksplorasi beberapa pengertian naskh menurut berbagai perspektif: Naskh atau nasikh-mansukh dalam perspektif Ulama Mutaqaddimin, perspektif Ulama Muta’akhirin, perspektif Modernis, dan perspektif Neo-Modernis.
1.    Naskh dalam Perspektif Ulama Mutaqaddimin
Para ulama Mutaqaddimin (abad I hingga abad III H.) mengartikan kata naskh dengan begitu luas. Dr. M. Quraish Shihab, dengan mengutip pendapat Asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, menjelaskan pengertian naskh dalam padangan ulama Mutaqaddimin. Menurut ulama Mutaqaddimin, pengertian naskh mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; dan (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebagian ulama Mutaqaddimin juga menganggap bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum muslimin lemah, dianggap telah di-naskh oleh ayat yang memperbolehkan berperang pada periode Madinah. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.[6] Jadi, naskh dalam perspektif ulama Mutaqaddimin mencakup pengertian takhsish, taqyid, istitsna, dan bara’atul ashliah. Begitu luasnya pengertian naskh menurut ulama Mutaqaddimin pada akhirnya berimplikasi pada banyaknya ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mengalami naskh.
2.    Nasikh-Mansukh dalam Perspektif Ulama Muta’akhkhirin
Berbeda dengan ulama Mutaqaddimin yang mengartikan naskh dengan begitu luas, mencakup takhsish, taqyid, istitsna, dan bara’atul ashliah, ulama Muta’akhirin memiliki pengertian yang lebih spesifik. Dalam pandangan mereka, naskh berarti mengganti atau mencabut hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian (raf’u al-hukm asy-syr’i bi dalilin syar’iyyin muta’akhirin),[7] di antara yang berpendapat seperti itu adalah Imam asy-Syafi’i dan Imam Ibn Hazm.
Berkaitan dengan pembatasan pengertian naskh menurut ulama Mutaqaddimin tersebut, paling tidak ada tiga hal yang perlu kita perhatikan dan garis bawahi, yaitu: pertama, kata “raf’u” (penghapusan), kedua, “al-hukm asy-syar’i” (hukum syara’), dan ketiga, “bi dalilin syar’iyyin muta’akhirin” (dengan menggunakan dalil syara’ yang datang kemudian). Kata “raf’u” (penghapusan) bisa mengeluarkan ayat yang tidak dihapus, misalnya ayat yang men-takhsis, karena ayat takhsis pada dasarnya tidak menghapuskan suatu hukum, tetapi hanya membatasi suatu ayat atas satuan-satuannya. Selanjutnya, kata “al-hukm asy-syar’iy” mengan-dung pengertian bahwa selain hukum syara’ tidak mungkin terjadi naskh. Sedangkan kata “bi dalilin syar’iyyin muta’akhirin” dengan jelas menunjukkan bahwa hukum syara’ yang datang lebih dahulu baru bisa di-naskh dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Ini berarti bahwa ayat yang di-naskh harus datang (turun) lebih dahulu daripada ayat yang me-naskh. Sebagai contoh tentang adanya naskh adalah mengenai dihapuskannya kewajiban bagi seorang muslim dalam shalat untuk menghadap Baitul Maqdis dan diganti dengan kewajiban menghadap Masjidil Haram.
Selain asy-Syafi’i, Ibn Hazm dan Jumhur ulama yang mengakui adanya naskh dan telah memberikan devinisi tentangnya, terdapat ulama dari golongan Mutaqaddimin yang justru menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an, dia adalah Abu Muslim al-Isfahani dan Sayyid al-Khu’i. Dalam pandangan Abu Muslim al-Isfahani, tidak ada nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an. Untuk menguatkan pendapatnya dia berhujjah dengan Q.S. 41: 42 “Tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya”. Ayat ini menurut Abu Muslim al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Selain itu, menurut kelompok yang menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an, mereka juga berpendapat bahwa pembatalan hukum dari Allah akan mengakibatkan satu dari dua kemustahilann-Nya; yaitu (a) ketidaktahuan Tuhan, sehingga ia perlu mengganti atau membatalkan hukum dengan hukum yang lain, dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Tetapi pendapat Abu Muslim tersebut di-counter oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa argumen yang dikemukakan oleh Abu Muslim berkaitan dengan ayat tersebut sangat tidak tepat, karena ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan, tetapi berbicara tentang kebatilan, yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkan bukan berarti batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan yang membatalkan keduanya hak dan benar, buka batil.
Selain itu, Jumhur ulama, untuk menguatkan pendapatnya, juga berargumen dengan Q.S. 2: 106; “Kami tidak me-naskh-kan ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. Dengan argumen yang dikemukakan oleh para pendukumng naskh ini, menurut Quraish Shihab, maka tertolaklah pendapat para ulama yang tidak mengakui adanya naskh dalam Al-Qur’an. Meskipun demikian, Quraish Shihab memandang perlu adanya rekonsiliasi antara kedua kelompok tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh ulama Muta’akhirin, sebagaimana usaha mereka dalam meninjau istilah yang digunakan oleh ulama Mutaqaddimin. Dalam hal ini ia merekomendasikan kepada kita untuk menjadikan pemikiran Muhammad Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Qur-an sebagai titik tolak.[8]
3.    Nasikh-Mansukh dalam Perspektif Modernis
Di antara ulama modernis yang melakukan kajian terhadap nasikh-mansukh adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Muhammad Abduh—meskipun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Q.S. al-Baqarah ayat 106 sebagai ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” pada surat tersebut adalah mukjizat—ia tetap berpendapat bahwa dicantumkannya “Ilmu Tuhan”, “diturunkan”, dan “tuduhan kebohongan” adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam Q.S. an-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an.
Apa yang dinyatakan Muhammad Abduh di atas lebih dikuatkan lagi oleh adanya kata “Ruh al-Quds” yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Qur’an. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memper-hatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang ta’awwudz (a’udzubillah) apabila membaca Al-Qur’an serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Qur’an), Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tetang siapa yang membawanya “turun” serta tuduhan kaum Musyrik terhadapnya (Al-Qur’an). [9]
Dari uraian tersebut memang terlihat bahwa Muhammad Abduh menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an dalam arti pembatalan, tetapi ia menyetujui bahwa dalam Al-Qur’an terdapat (pergantian, peng-alihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).
Dengan demikian, kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain”. Dalam arti bahwa bahwa kesemua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakkat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
4.    Nasikh-Mansukh dalam Perspektif Neo-Modernis.
Mahmoud Muhammad Taha, atau sering juga dipanggil dengan Ustadz Mahmoud, seorang pemikir Sudan, menawarkan sebuah konsep naskh yang berbeda dengan konsep naskh yang selama ini kita pahami.
Dalam pandangan Mahmoed Muhammad Taha, sebenarnya Syari,ah Islam memiliki dua pesan, yaitu pesan pertama (The First Massage of Islam) dan pesan kedua (The Sechond Massage of Islam). Pesan kedua Islam ini menurutnya, merupakan ayat-ayat Makiyyah, namun berbeda sama sakali dengan angan-angan sosial kita selama ini bahwa Makiyyah-Madaniyyah hanya sebagai pemilahan tempat atau waktu pewahyuan. Ustadz Mahmoud menyatakan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an harus dimaknai sebagai terks-teks yang berhadapan dengan audience, atau dalam bahasa Nasr hamid Abu Zaid, merupakan dialektika hubungan antara wahyu dan realitas, yaitu realitas masyarakat abad VII Masehi lampau. Pesan Makah atau ayat-ayat Makiyyah merupakan pesan Islam atau ayat-ayat yang abadi dan Fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain. Dalam arti bahwa manusia pertama kali diseru untuk masuk Islam paripurna melalui ayat-ayat Makiyyah (pesan Kedua). Pesan itu ditandai dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih, beragama, dan berkeyakinan. Baik substansi pesan Islam periode Makah maupun perilaku pengembangannya selama periaode Makah, semuanya didasarkan pada ‘ismah, yaitu kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau bayangan kekerasan dan paksaan apa pun.[10]
Namun, ketika tinggkat tertinggi dari pesan itu dengan keras dan dengan tidak masuk akal ditolak dan secara praksis ditunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat abad VII Masehi belum siap untuk melaksanakannya, maka pesan yang lebih realistik pada masa Madinah (The First Message of Islam) diberikan dan dilaksanakan. Dengan jalan ini, aspek-aspek pesan periode Makah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktik pada konteks sejarah abad VII Masehi, ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan diterapkan pada masa Madinah. Tetapi, dalam pandangan Ustadz Mahmoud Muhammad Taha aspek-aspek pesan Makah yang ditunda pelaksanaannya itu tidak akan pernah hilang sebagai sebuah sumber hukum. Ia hanya ditangguhkan pelaksanaannya dalam kondisi yang tepat dimasa depan.

C.    Hikmah adanya Nasikh dan Mansukh
Adapun Hikmahnya adalah :
1.      Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
2.      Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, Karena pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
3.      Memelihara kemaslahatan hamba.
4.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam.
5.      Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
6.        Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[11]





















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
 Nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Setelah mengeksplorasi berbagai konsep Naskh, pemakalah melihat adanya pergeseran pemikiran para ulama dalam memahami nasakh. Menurut pemakalah, pemahaman para ulama Mutaqaddimin dan Muta’akhuirin lebih banyak didasarkan pada bagaimana mereka melihat adanya pertentangan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dengan kurang mempertimbangkan realitas masyarakat yang ada saat itu. Tetapi konsep nasakh-nya Ustadzd Mahmoed adalah bersifat tentatif sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi, yakni ayat mana yang dibutuhkan pada masa tertentu, maka ayat tersebutlah yang diberlakukan. Adapun ayat yang tidak diperlukan, karena tidak relevan dengan perkembangan kontemporer diposisikan sebagai ayat yang mansukh. Konsep nasakh Ustadz Mahmoed ini sangat menarik, walaupun tidak sejalan dengan pemahaman jumhur ulama. Gagasan Ustadz Mahmoed tentang konsep nasakh patut diapresiasi dan tidak seharusnya ditolak hanya karena bertentangan dengan yang telah digagas oleh ulama terdahulu. Apalagi pemaknaan nasakh oleh ulama terdahulu tersebut juga bersifat ijtihadi, tidak ada penjelasan dari Alquran dan Sunnah bagaimana cara kerja nasakh yang sesungguhnya secara mansus.
Banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari Nasikh Mansukh diantaranya pelajaran bahwa Allah yang Maha Menentukan, Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang. Nasikh Mansukh juga sebagai ujian keimanan hamba sejauh mana dia mentaati perintah tuhannya.



B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberalies, Human Rigt and International Low, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak asasai Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Buku I, Cet III, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.

DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta.

Mahmoud Muhamed Taha, The Second Massage of Islam, alih bahasa Nur Rachman, Syari’ah Demokratik, Cet I. Surabaya: eLSAD, 1996.

Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2011, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Kautsar.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.

Tim Penyusun MKD. 2011. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel






[1] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan), hal 143
[2]     Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011), hlm. 123
[3]        DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, 2002, hlm. 20
[4]     Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2011), hal 291
[5]   Ibid,  hal 293
[6] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Op.Cit, hal 144
[7] Ibid, hal 144
[8] Ibid, hal 147
[9] Ibid, hal 147
[10]    Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak asasai Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. 103.
[11]   Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, OP.Cit. hal 296

Tidak ada komentar:

Posting Komentar