Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Selasa, 19 Maret 2013

METODOLOGI PEMAHAMAN (SYARH) HADIST



METODOLOGI PEMAHAMAN (SYARH) HADIST
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah
Studi Hadis Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.Ag




 




Disusun oleh:
Aris Hilmi Mubarok   (1220411182)
PAI - A



KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PRODI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

BAB I
Pendahuluan

Secara epistemologis, hadist dipandang oleh mayoritas  umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebab ia merupakan bayan (penjelas), terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘am (umum) dan yang mutlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadist dapat berfungsi sebgai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.[1]
Hadist sebagai sumber kedua, nampaknya selalu menarik untuk dikaji, baik yang menyangkut tentang kritik otentitas atau validitas (sanad dan matan) maupun metodologi pemahaman (syarh) hadist itu sendiri.
Para ulama dahulu telah banyak mencoba melakukan penafsiran atau pemahaman hadis yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni dengan menulis kitab syarah terhadap kitab tersebut.
Meskipun demikian, upaya untuk menemukan metode yang digunakan ulama dalam penyusunan kitab syarah hadis tersebut hampir-hampir tidak pernah tersentuh. Namun dari beberapa metode yang dipergunakan oleh para ulama klasik dalam menyusun kitab syarh tersebut dapat diklasifikasikan beberapa metode pemahaman hadist, yakni metode tahlîlî, metode ijmâlî,   metode muqârin dan metode maudhû’ii.[2]
Syarah Era Klasik muncul, palingtidak dimulai dari  abad ke-6-12. hal itu momentum dengan kelahiran kitab-kitab syarah sesuai kitab induk. Terjadinya upaya pengembangan syarah dari kitab induk ke kitab hadis hasil ulama muta’akhkhirin, ex. Bulugh al-Maram dengan Subul al-Salam, dll. Adapun Syarah Era Kontemporer, dimulai dari abad ke-13.

BAB II
Metodologi Pemahaman (Syarh) Hadist

A.      Pengertian Metode Pemahaman (Syarh) Hadist
1.    Metode dan Metodologi
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.[3] Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn tariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[4] Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian tentang metode.[5]
2.    Pemahaman (Syarh)
Kata syarah (Syarh) berasal dari bahasa Arab, Syaraha-Yasyrahu-Syarhan yang artinya menerangkan, membukakan, melapangkan.[6] Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk Hadist, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan); tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir (tafsir) spesifik bagi Al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedangkan istilah Syarah (syarh) meliputi hadis (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain.[7]
Jadi maksud dari metodologi pemahaman (syarh) hadis  ialah ilmu tentang metode memahami hadis. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara dua istilah, yakni metode syarh: cara-cara memahami hadis, sementara metodologi syarh: ilmu tentang cara tersebut. Metode yang digunakan oleh pensyarahan hadis ada tiga, yaitu metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin. Adapun untuk melihat kitab dari sisi bentuk pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh bi al-ma`sur dan syarh bi al-ra’y. Sedangkan dalam menganalisis corak kitab digunakan teori kategorisasi bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lugawy.[8]
B.       Metode-metode Pemahaman (syarh) Hadist Klasik
1.    Metode Tahlili  (Analitis)
a.    Pengertian
Tahlili berasal dari bahasa Arab Hallala-Yuhallilu-Tahlil yang berarti menganalisis.[9] Metode syarh tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.[10]
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi'in maupun para ulama hadis.[11]
Dengan substansi yang sama, Muhammad Alfatih Suryadilaga dalam menerangkan metode Tahlili yakni dengan syarakh hadis yang didalamnya akan ditemui uraian pemaparan segala aspek yang terkandung dalam hadis serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah, misalkan diuraikannya sistematika sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis kutub al-sittah.[12]
Beberapa contoh kitab yang memakai metode “Tahlili” antara lain adalah kitab Fath Al-Bari Bi Syarhi Shahih Bukhori karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, Ibnatul ahkam Bi Syarhi al-Bulughul Maram karya Subul al-Salam karya Shan’ani, al-Kawakib al-Dirari Fi Syarhi Shahih al-Bukhari karya Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmani, kitab al-Irsyad al-Syari’ li-Syarhi Shahih Bukhari karya Ibnu Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qastalani atau kitab Syarakh al-Zarqani ala Muwaththa’ ‘ala Imam Malik karya Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf al-Zarqani. [13]
b.   Ciri-ciri Metode Tahlili
Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili biasanya berbentuk ma'sur (riwayat) atau ra'y (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma'sur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi'in atau ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra'y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili  mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)   Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.
2)   Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al wurud dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki sabab wurudnya.
3)   Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi' in dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4)   Di samping itu dijelaskan juga munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadiis lain.
5)   Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwamai kecenderungan pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.[14]
c.    Contoh
Dalam kitab syarah hadis fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari terhadap hadis al-Bukhari sebagai berikut:[15]
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرنـي محمّد ابن إبراهيم التيمي أنه سمع علقة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الـمنبر قال سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يقول إنّما الأعمال بالنّيات و إنّما لكلّ امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هجر إليه.
قوله حدثنا (الحميدي (هو أبو بكر(عبد الله بن الزبير) بن عيسى منسوب إلى حميد بن أسامة بطن من بني أسد بن عبد العزى بن قصي رهط خديجة زوج النّبي صلّى الله عليه و سلّم يجتمع معها في أسد ويجتمع مع النّبي صلّى الله عليه وسلّم في قصي وهو إمام كبير مصنف رافق الشافعي في الطلب عن بن عيينة وطبقته و أخذ عنه الفقه و رحل معه إلى مصر ورجع بعد وفاته ‘لى مكة ‘لى أن مات بها سنة تسع عشرة و مائتين فكأن البخاري امتثل قوله صلّى الله عليه و سلّم قدموا قريشا فافتتح كتابه بالرواية عن الحميدي لكونه أفقه قرشي أخذ عنه و له مناسبة أخرى لأنه مكي كشيخه فناسب أن يذكر في أول ترجمة بدء الوحي لأن ابتداءه كان بمكة ومن  ثم ثنى بالرواية عن مالك لأنه شيخ أهل المدينة وهي تالية لمكة في نزول الوحي و في جميع الفضل و مالك و ابن عيينة قرينان قال الشّافعي لولاهما لذهب العلم من الحجاز قوله (حدثنا سفيان) هو ابن عيينة بن أبي عمران الهلالي أبو محمد المكي أصله و مولده الكوفة و قد شارك مالكا في كثير من شيوخه و عاش بعده عشرين سنة وكان يذكر أنه سمع من سبعين من التّابعين قوله (عن يحي بن سعيد) حدثنا يحي بن سعيد (الأنصاري) اسم جده قيس بن عمرو و هو صحابي و يحي من صغار التّابعين و شيخه(محمد بن إبراهيم) بن الحارث بن خالد (التيمي) من أوساط التّابعين...والله اعلم.
وقد اعترض على المصنف في إدخاله حديث الأعمال هذا في ترجمة بدء الوحي و أنه لا تعلق له به أصلا بحيث أن الخطابي في شرخه و الإسماعيلي في مستخرجه أخرجاه قبل الترجمة لاعتقادهما أنه إنما أورده للتبرك به فقد واستصوب أبو القاسم بن منده صنيع الإسماعيلي في ذلك وقال بن رشيد لم يقصد البخاري بإراده سوى بيان حسن نيته فيه في هذا التأليف و قد تكلفت مناسبته للترجمة فقال كل بحسب ماظهر له انتهى و قد قيل إنه أراد أنيقيمه مقام الخطبة للكتاب لأنه في سياقه أن عمر قاله على المنبر بمحضرة الصحابة فـإذا صلح أن يكون في خطبة المنبر صلح أن يكون في خطبة الكتاب وحكى الملهب أن النبي صلّى الله عليه وسلّم خطب به حين قددم المدينة مهاجرا فنـاسب إيراده في بدء الوحي لأن الأحوال التي كانت قبل لهـجرة كانت كالمقدمة لها لأن بالهجرة افتتح الإذن في قـتال المشركين ويعقبه النصر والظفر والفتح انتهى وهذا وجه حسن إلا أنني لأم أر ماذكره من كونـه صلى الله عليه وسلم يقول ياأيها الناس إنـما الأعمال بالنية الحديث ففي هذا إلى أنه كان في حال الخطبة أما كونه في ابتداء قدومه إلى المدينـة فلم أر مايدل عليه ولعل قائله استند إلى ماروى في قصة مهاجر أم قيس قال بن دقيق العيد نقلوا أن رجلا هاجر من مكة إلى المدينة لا يريد بذلك فضيلة
...فزادت على مانقل عمن تقدم كما سيأتي مثال لذالك في الكلام على حديث بن عمر في غسل الجمعة إن شاءالله تعالى قوله على المنبر بكسر الميم و اللام للعهد أي منبر المسجد النبوي و وقع في رواية حماد بن زيد عن يحي في ترك الحيل سمعت عمر يخطب قوله إنما الأعمال بالنيات كذا أورد هنا وهو من مقابلة الجمع بالجمع أي كل عمل بنيته و قال الخوبي كأنه أشار بذلك إلى أن النية تتنوع كما تتنوع الأعمال مكن قصد بعمله وجه الله أو تحصيل موعوده أو اتقاء لوعيده ووقع في معظم الروايات بإفراد النية ووجه أن محل النية القلب وهو متحد فناسب افرادها بخلاف الأعمال فأنـها متعلقة بالظواهر و هي متعددة فناسب جمعها ولأن النية ترجع إلى الإخلاص وهو واحد للواحد الذي لا شريك له ووقع في صحيح بن حبان بلفظ الأعمال بالنيات بحذف إنّما و جمع الأعمال و النيات و هي ما وقع في كتاب الشهاب للقضاعي و وصله في مسنده كذلك وأنكره أبو موسى المديني كما نقله النووي و أقره و هو متعقب برواية بن حبان بل و قع في رواية مالك عن يحي الثوري و في الهجرة من رواية حماد بن زيد و وقع عنده فى النكاه بلفظ العمل بالنية بإفراد كل منهما والنية بكسر النون و تشديد التحتانية على المشهور و في بعض اللغات بتحفيفها قال الرماني قوله إنما الأعمال بالنيات هذا التركيب يفيد الحصر عند المحققين و اختلف في وجه افادتـه فقيل لأن الأعمال جمع محلى بالألف و اللام مفيد للاستغراق و هو ملتزم للقصر لأن معناه كل عمل بنية فلا عمل الا بنية و قيل لأن إنما للحصر و هل افادتـها له بالمنطوق أو بالمفهوم أو تفيد الحصر بالوضع أو العرف أو تفيده بالحقيقة أو المجاز....الى الأخر
... لأن المراد بالأعمال أعمال العبادة و هي لا تصح من الكافر وإن كان مخاطبا بها معاقبا على تركها ولا يرد العتق و الصدقة لأنـهما بدليل آخر قوله بالنيات الباء للمصاحبة و يحتمل أن تكون للسببية بمعنى أنها مقومة للعمل فكأنها سبب في ايجاده و على الأول فهي من نفس العمل فيشترط أن لا تتخلف عن أوله قال النووي النية القصد و هي عزيمة القلب و تعقبه الكرماني بأن عزيمة القلب قدر زائد على أصل القصد واختلف الفقهاء هل هي ركن أو شرط والمرجح أن ايجادها ذكرا في أول العمل ركن واستصحابـها حكما بمعنى أن لايأتي بمناف شرعا شرط و لابد من محذوف يتعلق به الجار و المجرور فقيل تعتبر و قيل تصح و قبل تحصل و قيل تستقر.
...قال الطبي كلام الشارع محمول على بيان الشرع لأن المخاطبين بذلك هم أهل اللسان فكأنـهم خوطبوا بما ليس لهم به علم إلا من قبل الشارع فيتعين الحمل على مايفيد الحكم الشرعي و قال البيضاوي النية عبارة عن انبعاث القلب نحو مايراه موافقا لغرض من جلب نفح أو دفع ضر حالا أو مالآ
 و الشرع خصصه بالارادة المتوجهة نحو الفعل لابتغاء رضاء الله وامتثال حكمه و النية في الحديث محمولة على المعنى اللغوي ليحسن تطبيقه على مابعده و تقسيمه أحوال المهاجر فإنـه تفصيل لما أجمل....

Dari kutipan syarah di atas dapat diketahui bahwa dalam menerangkan hadis, pensyarah mengemukakan analisis tentang periwayat (rawi)  sesuai dengan urutan sanad, sabab al-wurud, juga menyajikan hadis-hadis lain yang berhubungan dengan hadis tersebut, bahkan ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hadis. Pensyarah menggunakan riwayat riwayat dari para ulama. Syarah banyak didominasi oleh pendapat mereka, sehingga dari uraian yang demikian panjang, pendapat dari pensyarah hampir-hampir tidak diketemukan. Selain itu juga, disajikan penjelasan kosa kata yang terdapat didalamnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun syarah yang memakai metode analitis ini mengandung uraian yanglebih rinci, namun karena berbentuk al-ma’sur , pendapat dari pensyarah tetap sukar ditemukan. Inilah salah satu ciri utama yang membedakan secara mencolok dengan Syarh bi-al-ra’y. [16]
d.   Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
Kelebihan
1).   Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas.
Metode analitis dapat menyakup berbagai aspek: kata, frasa, kalimat, sabab al wurud, munasabah (munasabah internal) dan lain sebagainya.
2).   Memuat berbagai ide dan gagasan.
Memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarah untuk menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulama dalam mensyarahkan hadist
Dengan metode ini pensyarah relatif memiliki kebebasan dalam mengemukakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam menjabarkan makna suatu teks hadis daripada metode ijmali, barang kali kondisi inilah yang membuat tahlili lebih berkembang pesat dibandingkan dengan ijmali.
Kekurangan
1).   Menjadikan petunjuk hadis parsial
Metode analitis menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga seolah-olah hadis memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah yang diberikan pada hadis lain yang sama karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.
2).   Melahirkan syarah yang subyektif
Dalam metode analitis, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadis secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.[17] 
Dari uraian ini dapat disimpulkan, jika menginginkan pemahaman yang “lebih luas” dari suatu teks hadis dengan melihat berbagai aspek, maka tiada jalan lain adalah dengan metode Tahlili. Disinilah letak satu urgensi pokok dan mendasar dari metode tahlili dibandingkan dengan metode ijmali dan muqarin.

2.    Metode Ijmali  (Global)
a.    Pengertian
Metode ijmali (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadis­-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam al-Kutub al-Sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan malrna literal hadis dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami. [18]
Metode ini mempunyai kemiripan dengan metode tahlili dari segi sistematika pensyarahan. Perbedaannya terletak pada segi uraian penjelasannya. Metode Tahlili sangat terperinci dan panjang lebar sehingga pensyarahannya lebih banyak dapat mengemukakan pendapat  dan ide-idenya, sedangkan metode ijmali penjelasannya sangat umum dan ringkas.
Hal ini membuat pensyarahannya tidak mempunyai ruang untuk mengemumakan pendapat dan ide-idenya. Meski demikian, dalam kitab yang menggunakan metode ijmali, juga tidak menutup kemungkinan adanya uraian yang panjang lebar mengenai suatu hadis tertentu yang membutuhkan penjelasan yang detail. Akan tetapi, penjelasan tersebut tidak seluas metode tahlili.
Kitab-kitab syarah yang mengikuti metode ini antara lain Syarah al-Suyuti li Sunan al-Nasa’i karya Jalal al-Din al-Suyuti, Qut al-Mughtazi ’ala Jami’ al-Turmudzi karya Jalaludin al-Suyuti, ’Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi dawud karya Muhammad bin Asyraf bin ’Ali Haidar al-Siddiqi al-’Azim Abadi.

b.   Ciri-ciri Metode Ijmali [19]
1).   Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir  tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2).   Penjelasan umum dan sangat ringkas.
Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode tahlili.
c.    Contoh
Dalam kitab syarah hadis ’Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin ’Ali Haidar Al-Siddiqi al-’Azim Abadi sebagai berikut:[20]
(غسل يوم الجمعة واجب) قال الخطابي معناه وجوب الاختيار و الاستحباب دون وجوب الفرض كما يقول الرجل لصاحبه حقك علي واجب وأنا أوجب حقك و ليس ذلك بمعنى اللزوم و الذي لا يسع غيره ويشهد لصحة هذا التأويل حديث عمر الذي تقدم ذكره انتهىز قال ابن دقيق العيد في شرح عمدة الأحكام ذهب الأكثرون إلى استحباب غسل الجمعة و هم محتاجون إلى الأعتذار عن مخالفة هذا الظاهر وقد أولوا صيغة الأمر عل الندب و صيغة الوجوب على التأكيد كمايقال إكراماك على واجب وهو تأويل ضعيف إنما يصار إليه إذا كان المعارض راجحا على هذا الظاهر وأقوى ماعارضوابه هذا الظاهر حديث من توضأ يوم الجمعة فيها ونعمت ومن اغتسل فالغسل أفضل ولايعارض سنده سند هذه الأحادث انتهى (على كل محتلم) أي بالغ وإنما ذكر الإحتلام لكونه الغالب وتفسيره بالبالغ مجاز لأن الإحتلام يستلزم البلوغ والقرينة الماسة عن الحمل على الحقيقة أن الإحتلام إذا كان معه انزال موجب للغسل سواء كان يوم الجمعة أم لا. ذكره الزرقاني قال المنذري و أخرجه البخاري و مسلم والنسائي وابن ماجه.
d.   Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
1). Ringkas dan padat
Metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap oleh pembacanya. Syarah tidak bertele-tele, sanad dan kritik matan sangat minim.
2). Bahasa Mudah
Pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide atau pendapatnya secara pribadi.
Kekurangan
1)   Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial
Metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadis yang bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya rinci.
2)   Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Metode ini tidak mnyediakan ruangan yang memuaskan bagi penulisnya untuk menganalisis sebuah hadis secara detail dan terperinci..[21] Bagi pembaca yang membutuhkan pemahaman lebih tidak bisa terpenuhi oleh kitab yang menggunakan metode ini, sebab terkadang penjelasan yang sangat singkat juga bisa membingungkan pembaca dalam memahami syarah hadis.
Terlepas dari semuanya, para ’ulama’ yang telah menulis kitab syarah hadis dengan menggunakan metode ijmali telah banyak memberikan pemahaman yang bermanfaat bagi umat Islam.
3.    Metode Muqarin (komparatif)
a.  Pengertian
Metode Muqarin adalah metode memahami hadis dengan cara: (1) Membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. (2) Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis. 19
Jadi metode ini dalam memahami hadis tidak hanya membandingkan badis dengan hadis lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadis.
Diantara Kitab yang menggunakan metode muqarin ini adalah Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi karya Imam Nawawi, Umdah al-Qari Syarh S}ahih al-Bukhari karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud al-’Aini, dan lain-lain
b. Ciri-ciri Metode Muqarin
1).   Membandingkan analitis redaksional (mabahis lafziyyah) dan perbandingan periwayat periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan.
2).   Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut.
3).   Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut  kandungan (makna) hadis maupun korelasi (munasabah) antara hadis dengan hadis. 20
Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan hams dengan hadis, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.
c. Urutan Metode Muqarin
Metode ini diawali dengan menjelaskan pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh sebagai berikut :
1).   mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan,
2).   memperbandingkan antara hadis yang redaksinya mirip tersebut, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama,
3).   menganalisa perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan itu mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalam hadis, dan sebagainya,
4).   memperbandingkan antara berbagai pendapat para pensyarah tentang hadis yang dijadikan objek bahasan.21
d.  Contoh
Salah satu kitab yang menggunakan Syarh muqarin adalah Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini.22
قد حصل من الطرق المذكورة أربعة ألفاظ "إنما الأعمال بالنيات" و" الأعمال بالنية" و "العمل بالنية" وادعى النووي في تلخيصه قلتـهاز والرابع "إنـما الأعمال بالنية" وأورده القضاعي في الشهاب بلفظ "الأعمال بالنيات" بحذف "إنما" و الحافظ أبو موسى الأصبـهاني: لا يصح إسنادها,وإقره النووي على ذلك في تلخيصه وغيره,وهو غريب منهما,وهي رواية صحيحة أخرجها ابن حبان في صحيحه...و أورده الرافعي في شرحه الكبير بلفظ آخر غريب وهو "ليس للمرء من عمله إلا نواه"....وفي البيهقي في حديث آخر مرفوعا"لا عمل لـمن لا نية له....لكن اسناده جهالة.
....الأول: احتجت الأئمة الثلاثـة في وجوب النية في الوضوء والغسل فقالوا: التقدير فيه صحة الأعمال بالنيات والألف و اللام فيه لاستغراق الجنس,فيدخل فيه جميع الأعمال من الصوم و الصلاة و الزكاة و الوضوء...ومن الثاني أن النيات إنما تكون مقبولة إذا كانت مقرونـة بالإخلاص انتهي. وذهب أبو حنيفـة و أبو يوسف و محمد و زفر والنواوي والأوزاعي و الحسن بن حي ومالك في رواية إلى أن الوضوء لا يحتاج إلى نية,وكذلك الغسل. و زاد الأوزعي و الحسن التيمم.وقال عطاء ومجاهد: لا يحتاج صيام رمضان إلى نية إلا أنيكون مسافرا أو مريضا...
...الثاني احتجت به أبو حنيفة و مالك وأحمد في أن من أحرم بالحج في غير أشهر الحج أنه لا ينعقد عمرة لأنـه لم ينوها فإنما له مانواه,وهو أحد أقوال الشافعي,إلا أن الأئمة الثلاثة قالوا: ينعقد إحرامه بالحج ولكنـه يكره,ولم يخـتلف قول الشافعي أنـه لا ينعقد بالحج...
...الثالث: احتجت به مالك في اكتفائه بنية واحدة في أول شهر رمضان...
e.  Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
1).   Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan denga metode lain.
2)    Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh. berbeda.
3)    Pemahaman dengan metode muqarin sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
4)   Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat­pendapat para pensyarah lainnya.
Kekurangan
1)    Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
2)    Metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah
3)    Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh mama daripada mengemukakan pendapat baru23.
Untuk dapat memahami hadis dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan. Berkaitan dengan ilmu bantu daIam memahami hadis, Yusuf Al Qardawi memberikan beberapa pedoman, yaitu24 :
1).   Mengetahui petunjuk Al Qur'an yang berkenaan dengan hadis tersebut.
2).   Menghimpun hadis-hadis yang se-tema.
3).   Menggabungkan dan mentarjihkan antar hadis-hadis yang tampak bertentangan.
4).   Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi hadis ketika diucapkan diperbuat serta tujuaannya.
5).   Mampu membedakan antara sasaran yang berubah-­ubah dengan sasaran yang tetap.
6).   Mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bersifat metafora.
7). Mampu membedakan antara hadis yang berkenaan dengan alam gaib (kasat mata) dengan yang tembus pandang.
8).   Mampu memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.

C.      Metodologi Syarah Klasik-Kontemporer
Lahirnya syarah kontemporer juga bisa dikarenakan adanya kemunduran dalam keinginan memahami suatu hadis sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan beberapa metode dan pendekatan syarah yang dipunyainya, pensyarahan hadis terus berkembang sampai kemudian bermunculannya beberapa metode. Misalkan metode hermeneutik, yang diasumsikan juga turut mewarnai beragramnya metode pensyarahan, dipandang cukup memberikan solusi pembacaan yang cukup sesuai dengan problem masyarakat.
Kehadiran metode hermeneutik merupakan angin segar dalam penyarahan hadis. masalah yang berkembang sekarang terlalu banyak dan membuat untuk menyegerakan penjabaran dan pembahasan dengan landasan yang ada.  Metode Hermeneutik dan dalam bingkai tematik agaknya mendesak dilakukan saat itu, seperti merespon kepemimpinan perempuan dalam ranah publik (presiden, dan sebagainya) yang terjadi pada tahun 1999. Kehadiran hermeneutik juga tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lain.
Dalam studi keislaman, hermeneutik sudah lama dikenal dan masuk dalam kajian tafsir dan lainnya. Padanan kata yang dapat dianggap sebagai hermeneutik adalah tafsir, ta’wil, syarh dan bayan. Tradisi tersebut telah menjadi bagian dari perkembangan keilmuan keislaman baik dalam bidang tafsir, fiqih, kalam maupun tasawuf.



BAB III
Kesimpulan

Dalam metode pemahaman (syarh) hadis, para ulama menggunakan 3 metode, yaitu metode tahlili (analitis), metode ijmali (global), dan metode muqarin (perbandingan). Dengan melihat karakter persamaan yang terdapat keempat metode itu mempunyai kelebihan maupun kelemahan masing-masing. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka tak diragukan lagi akan muncul metode maupun pendekatan baru untuk memahami hadis, karena hadis merupakan salah satu sumber pokok hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an tak kan lepas dari kajian maupun penelitian. Wallahu’alam bi-as-sawab.
Dengan demikian, kegiatan ulama dalam memberikan penjelasan, pensyarahan dan penafsiran atas hadis-hadis nabi tidak terhenti hanya dalam penghimpunan dalam kitab-kitab tertentu saja, melainkan juga diterjemahkan dalam berbagai bahasa sesuai dengan tempat dan waktu ulama yang menyalinnya. Tentu upaya pensyarahan tersebut, juga dilandasi dengan pertanggung jawaban metode dan pendekatan yang dimilikinya. Karena itu pensyarahan terhadap kitab-kitab hadis, dengan demikian, mempunyai berbagai metode dan pendekatan yang cukup bervariasi. Tentu hal itu, bisa dianggap wajar ketika setting masyarakat Islam di sekitar zamannya juga cukup bervariasi.
Karena itulah, selain pensyarahan kitab-kitab hadis sangatlah tidak bebas nilai, tujuan dan maksud, setidaknya ada lima macam pensyarahan hadis yang dilakukan ulama dari era klasik hingga kontemporer yang berupaya untuk: menjelaskan makna hadis ditinjau dari berbagai sudut, kecenderungan membahas secara luas dan memberi penjelasan berbagai kata yang sulit dipahami sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab garib al-hadis & yang lainnya.
Diakui atau tidak khazanah keilmuan hadis dan bahkan yang lainnya dalam Islam berkembang dengan pesatnya. Hadis  bahkan masalah-masalah yang terkait dengan keilmuan keislaman sangat subur seiring dengan perkembangan kebutuhan umat manusia dan pensyarahan hadis dengan metode hermeneutik bisa menjadi solusi.
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Hay al-Farmawi.1997. Al-Bidayah  fi al-Tafsir al-Maudhu’i. ,t.tp: Matba’ah al-Hadarah al-‘Arabiyyah.,
Al-Asqalani, Fath al-Bari Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah. Jilid 1.
Agil Husain Munawwar, Said dan Mustaqim, Abdul. 2001.  Asbabul Wurud. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Alfatah Suryadilaga. 2012. Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer (Potret Konstruksi Metodologi Syarah Hadis). Yogyakarta: Suka Press.
Ali, Nizar. 2001. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah.
________. 2007.  (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis. Yogyakarta.
Baidan, Nashrudin. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini, Badr. 1972. Syarh muqarin adalah Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari,. Aleppo: Mustafa al-babi al-Halabi.
al-Hay al-Farmawi, Abd. 1997. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’i. ,t.tp: Matba’ah al-Hadarah al-‘Arabiyyah.
Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III.
Yunus, Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an.
al-Qardhawi, Yusuf. 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan Bandung: Kharisma.


[1] Said Agil Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim. 2001.  Asbabul Wurud. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal. 24.
[2] Nizar Ali. 2001. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah., hal. 28.

[3] Ibid.,hal. 1 atau baca Fuad Hasan dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia., hal. 16.
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., hal. 740.
[5] Ibid., hal. 741.
[6] Mahmud Yunus. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an.,hal.
[7] Nizar Ali., op.cit., hal 28.
[8] Nizar Ali. 2007. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis. Yogyakarta., hal. 4.
[9] Alfatih Suryadilaga. 2012. Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer (Potret Konstruksi Metodologi Syarah Hadis). Yogyakarta: Suka Press. Cetakan Pertama. Hal. 18.
[10] Nizar Ali.,op.cit., hal. 29 atau baca Abd al-Hay al-Farmawi.1997. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’i. ,t.tp: Matba’ah al-Hadarah al-‘Arabiyyah., hal.24.
[11] Ibid, hal. 29.
[12] Alfatih Suryadilaga. Metodologi Syarah Hadis. Hal. 19.
[13] Muhammad al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis…… Hal. 20.
[14] Ibid., hal.30-31.
[15] Ibid.,hal. 31 atau Al-Asqalani, Fath al-Bari Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah. Jilid 1., hal. 10-18.
[16] Ibid., hal. 31-37.
[17] Ibid., hal 38-39.
[18] Ibid., hal. 42.
[19] Ibid., hal. 43.
[20] Ibid., hal. 43 atau Muhammad bin Asyraf bin ’Ali Haidar Al-Siddiqi al-’Azim Abadi. 1979. ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Fikr., hal. 5-6.
[21] Ibid., hal.44-46.
19 Ibid.,hal. 46.
20 Ibid.,hal 48-49.
21 Ibid., hal. 49.
22 Ibid.,hal.49 atau Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini,1972. Syarh muqarin adalah Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, . Aleppo: Mustafa al-babi al-Halabi., hal. 24, 33-34.
23 Ibid., hlm.51-52.
24 Ibid., hlm. 25 atau baca Yusuf al-Qardhawi, 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan (Bandung: Kharisma), hlm. 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar