Disusun oleh:
1.
Aris Hilmi
Mubarok (1220411182)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Diskursus
tentang naskh dalam Alquran tidak dipungkiri lagi sebagai salah satu
kajian yang cukup menarik sekaligus rumit. Hal ini menyebabkan para ulama
terbagi kepada dua kelompok. Satu kelompok mendukung adanya naskh dan
kelompok lain menolak eksistensi naskh dalam Alquran.
Pembahasan
naskh dalam Alquran menjadi penting, karena Alquran adalah kitab suci,
sebagai firman Tuhan. Kalau seandainya dalam Alquran sendiri ada
ketidakkonsistenan, dengan adanya naskh (dalam pengertian kontradiksi),
maka Islam secara keseluruhan dapat dianggap tidak konsisten dan dapat dengan
mudah dirobohkan. Apalagi Alquran yang diturunkan hanya memakan waktu lebih
kurang 23 tahun.
Dalam
makalah yang sangat sederhana ini, penulis memberanikan diri untuk membahas
tentang naskh, khususnya dalam Alquran. Pembahasan makalah ini meliputi:
pengertian naskh, macam-macam naskh, perbedaan pendapat ulama
tentang naskh, dan Hikmah mempelajarinya.
Dengan
penuh kesadaran, penulis mengakui bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan dan
kelemahan. Kritik yang membangun dan masukan yang berargumen dan bereferensi
sangat diharapkan untuk perbaikan makalah ini mendatang, agar dapat dijadikan
bahan baca umum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nasikh dan mansukh ?
2.
Bagaimana pendapat ulama
mengenai nasikh dan mansukh ?
3.
Apa hikmah
nasikh dan mansukh ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nasikh Mansukh
ÇNasikh secara etimologi yaitu
menghapus / mengganti / memindahkan / mengutip. Sedangkan secara terminologi,
nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang
kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum
yang pertama akan tetap berlaku.[2]
Seperti terlihat dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :[3
Artinya : “Ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Mansukh secara etimologi yaitu
sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum
syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan
hukum syara’ yang datang kemudian.
Arti nasikh mansukh dalam istilah
fuqaha’ antara lain:
1.
Membatalkan
hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru
datang. Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi
membolehkannya.
2.
Mengangkat
nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti :
a. Surat Al-Baqarah ayat 228;
Artinya : “wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' ”
b. Surat Al-Ahzab ayat 49;
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
Nas yang pertama umum; termasuk
didalamnya istri yang sudah didukul (dicampuri) dan yang
belum. Sedang nas yang kedua khusus tertuju pada istri yang belum didukhul.
B. Pembagian Nasakh
Dilihat
dari segi umum, dalam sumber hukum islam terdapat 4 jenis nasakh yaitu :
1. Nasakh Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an.
Sebagian ulama berpandangan bahwa Al-Qur’an tidak
dapat dinaskh kecuali dengan Al-Qur’an juga. Contohnya adalah seperti hukuman
bagi wanita yang berbuat zina adalah dikurung dirumah-rumah mereka hingga ajal
menjemput menjemputnya (QS. 4: 15)
Dan (terhadap) para wanita
yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu
(yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Ayat tersebut dinasakh dengan firman Allah SWT
dalam surat An-Nur ayat 2 :
Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.
2. Nasakh Al-Qur’an dengan
As-Sunnah.
Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah adalah seperti
pada ayat tentang wasiat dalam surat Al-Baqarah ayat 180 Allah berfirman :
Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Ayat tersebut dinasakh dengan hadist :
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Tidak ada wasiat bagi ahli
waris (H.R Turmudzi, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Majah, Addairimi)
3. Nasakh As-Sunnah dengan
Al-Qur’an.
Contohnya adalah shalat menghadap Baitul Maqdis
yang ditetapkan dalam hadis :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ حَدَّثَنِي أَبُو
إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّيْنَا مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ
عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ثُمَّ صَرَفَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ (رواه
البخاري )
Dari Bara’ Ibn Azib
berkata, kami shalat bersama Rasulullah SAW dengan menghadap ke Baitul Maqdis
selama 16 atau 17. Kemudian diperintahkan untuk menghadap qiblat. (HR. Bukhari)
Hadis diatas disakh oleh firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 144 :
Sungguh kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
4. Nasakh As-Sunnah dengan
As-Sunnah.
Naskh Sunnah dengan sunnah, terdapat empat bentuk
:
a. Naskh Mutawatir dengan
Mutawatir
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Nask ahad dengan mutawatir
d. Naskh Mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama disepakati kebolehannya oleh
para ulama, sedangkan bentuk yang terakhir diperselisihkan. Jumhur mengatakan
tidak boleh.[4]
C. Macam-macam Nasakh dalam Al-Qur’an :
Bagi uluma yang setuju dengan
adanya naskh dalam Alquran, naskh dibagi menjadi tiga:
1. Mansûkh tilâwah-nya, yakni
redaksi ayatnya dalam Alquran, akan tetapi hukumnya tetap berlaku. Seperti pada
ayat rajam:
الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما ألبتة نكالا من
الله
Artinya, "Orang tua
laki-laki dan perempuan apabila mereka berdua berzina maka rajamlah
keduanya."
2. Mansûkh hukumnya, sementara redaksinya
tetap ada di dalam Alquran, seperti surat al-Mujadilah ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ
الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya, "Hai orang-orang
beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu
mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang
demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh
(yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
Ayat ini di-naskh hukumnya
oleh surat al-Mujadalah ayat 13.
أَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ
نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya, "Apakah kamu
takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan
pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan."
3. Mansûkh tilâwah dan hukumnya
sekaligus. Contohnya adalah:
عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس معلومات
Artinya, "Sepuluh kali
susuan yang tertentu mengharamkan (ibu susunya untuk dinikahi), kemudian Kami hapuskan
dengan lima (kali susuan) yang tertentu (saja)."[5]
D.
Pendapat
Ulama Mengenai Nasikh Mansukh
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda
tentang pengertian naskh. Terlepas dari pendukung dan penentang nasikh-mansukh,
Berikut ini penulis akan mencoba mengeksplorasi beberapa pengertian naskh
menurut berbagai perspektif: Naskh atau nasikh-mansukh dalam
perspektif Ulama Mutaqaddimin, perspektif Ulama Muta’akhirin,
perspektif Modernis, dan perspektif Neo-Modernis.
1.
Naskh dalam
Perspektif Ulama Mutaqaddimin
Para ulama Mutaqaddimin (abad I hingga
abad III H.) mengartikan kata naskh dengan begitu luas. Dr. M. Quraish
Shihab, dengan mengutip pendapat Asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwafaqat,
menjelaskan pengertian naskh dalam padangan ulama Mutaqaddimin.
Menurut ulama Mutaqaddimin, pengertian naskh mencakup: (a)
pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian;
(b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
bersifat samar; dan (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum
bersyarat. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebagian ulama Mutaqaddimin
juga menganggap bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi
tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda
akibat adanya kondisi lain, seperti perintah untuk bersabar atau menahan diri
pada periode Makkah di saat kaum muslimin lemah, dianggap telah di-naskh
oleh ayat yang memperbolehkan berperang pada periode Madinah. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku
pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.[6] Jadi, naskh
dalam perspektif ulama Mutaqaddimin mencakup pengertian takhsish,
taqyid, istitsna, dan bara’atul ashliah. Begitu luasnya pengertian naskh
menurut ulama Mutaqaddimin pada akhirnya berimplikasi pada banyaknya
ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mengalami naskh.
2.
Nasikh-Mansukh dalam
Perspektif Ulama Muta’akhkhirin
Berbeda dengan ulama Mutaqaddimin yang
mengartikan naskh dengan begitu luas, mencakup takhsish, taqyid, istitsna,
dan bara’atul ashliah, ulama Muta’akhirin memiliki pengertian
yang lebih spesifik. Dalam pandangan mereka, naskh berarti mengganti
atau mencabut hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian (raf’u
al-hukm asy-syr’i bi dalilin syar’iyyin muta’akhirin),[7] di
antara yang berpendapat seperti itu adalah Imam asy-Syafi’i dan Imam Ibn Hazm.
Berkaitan dengan pembatasan pengertian naskh
menurut ulama Mutaqaddimin tersebut, paling tidak ada tiga hal yang perlu kita
perhatikan dan garis bawahi, yaitu: pertama, kata “raf’u” (penghapusan), kedua,
“al-hukm asy-syar’i” (hukum syara’), dan ketiga, “bi dalilin syar’iyyin
muta’akhirin” (dengan menggunakan dalil syara’ yang datang kemudian). Kata
“raf’u” (penghapusan) bisa mengeluarkan ayat yang tidak dihapus, misalnya ayat
yang men-takhsis, karena ayat takhsis pada dasarnya tidak menghapuskan suatu
hukum, tetapi hanya membatasi suatu ayat atas satuan-satuannya. Selanjutnya,
kata “al-hukm asy-syar’iy” mengan-dung pengertian bahwa selain hukum syara’
tidak mungkin terjadi naskh. Sedangkan kata “bi dalilin syar’iyyin
muta’akhirin” dengan jelas menunjukkan bahwa hukum syara’ yang datang lebih
dahulu baru bisa di-naskh dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Ini berarti
bahwa ayat yang di-naskh harus datang (turun) lebih dahulu daripada ayat yang
me-naskh. Sebagai contoh tentang adanya naskh adalah mengenai dihapuskannya
kewajiban bagi seorang muslim dalam shalat untuk menghadap Baitul Maqdis dan
diganti dengan kewajiban menghadap Masjidil Haram.
Selain asy-Syafi’i, Ibn Hazm dan Jumhur ulama
yang mengakui adanya naskh dan telah memberikan devinisi tentangnya, terdapat
ulama dari golongan Mutaqaddimin yang justru menolak adanya naskh dalam
Al-Qur’an, dia adalah Abu Muslim al-Isfahani dan Sayyid al-Khu’i. Dalam
pandangan Abu Muslim al-Isfahani, tidak ada nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an.
Untuk menguatkan pendapatnya dia berhujjah dengan Q.S. 41: 42 “Tidak datang
kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya”. Ayat
ini menurut Abu Muslim al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak disentuh
oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan
maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Selain itu, menurut kelompok yang
menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an, mereka juga berpendapat bahwa pembatalan
hukum dari Allah akan mengakibatkan satu dari dua kemustahilann-Nya; yaitu (a)
ketidaktahuan Tuhan, sehingga ia perlu mengganti atau membatalkan hukum dengan
hukum yang lain, dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Tetapi pendapat Abu Muslim tersebut di-counter
oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa argumen yang dikemukakan oleh
Abu Muslim berkaitan dengan ayat tersebut sangat tidak tepat, karena ayat
tersebut tidak berbicara tentang pembatalan, tetapi berbicara tentang
kebatilan, yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkan bukan
berarti batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan
dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu
sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan yang
membatalkan keduanya hak dan benar, buka batil.
Selain itu, Jumhur ulama, untuk menguatkan
pendapatnya, juga berargumen dengan Q.S. 2: 106; “Kami tidak me-naskh-kan ayat
atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang
lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. Dengan argumen yang
dikemukakan oleh para pendukumng naskh ini, menurut Quraish Shihab, maka
tertolaklah pendapat para ulama yang tidak mengakui adanya naskh dalam
Al-Qur’an. Meskipun demikian, Quraish Shihab memandang perlu adanya
rekonsiliasi antara kedua kelompok tersebut, misalnya dengan jalan meninjau
kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh ulama Muta’akhirin,
sebagaimana usaha mereka dalam meninjau istilah yang digunakan oleh ulama Mutaqaddimin.
Dalam hal ini ia merekomendasikan kepada kita untuk menjadikan pemikiran
Muhammad Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Qur-an sebagai titik
tolak.[8]
3.
Nasikh-Mansukh dalam
Perspektif Modernis
Di antara ulama modernis yang melakukan kajian
terhadap nasikh-mansukh adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Muhammad Abduh—meskipun tidak mendukung
pengertian kata “ayat” dalam Q.S. al-Baqarah ayat 106 sebagai ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan
“Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya
mengisyaratkan bahwa “ayat” pada surat tersebut adalah mukjizat—ia tetap
berpendapat bahwa dicantumkannya “Ilmu Tuhan”, “diturunkan”, dan “tuduhan
kebohongan” adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam Q.S.
an-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an.
Apa yang dinyatakan Muhammad Abduh di atas
lebih dikuatkan lagi oleh adanya kata “Ruh al-Quds” yakni Jibril yang
mengantarkan turunnya Al-Qur’an. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan
memper-hatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya.
Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang ta’awwudz (a’udzubillah) apabila membaca
Al-Qur’an serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang pergantian
ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Qur’an), Kemudian
ayat 102 dan 103 berbicara tetang siapa yang membawanya “turun” serta tuduhan
kaum Musyrik terhadapnya (Al-Qur’an). [9]
Dari uraian tersebut memang terlihat bahwa
Muhammad Abduh menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an dalam arti pembatalan,
tetapi ia menyetujui bahwa dalam Al-Qur’an terdapat (pergantian, peng-alihan,
pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).
Dengan demikian, kita cenderung memahami
pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah
yang lain”. Dalam arti bahwa bahwa kesemua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, tidak
ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakkat atau orang
tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak
berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama
dengan kondisi mereka semula.
4.
Nasikh-Mansukh dalam
Perspektif Neo-Modernis.
Mahmoud Muhammad Taha, atau sering juga
dipanggil dengan Ustadz Mahmoud, seorang pemikir Sudan, menawarkan sebuah
konsep naskh yang berbeda dengan konsep naskh yang selama ini kita pahami.
Dalam pandangan Mahmoed Muhammad Taha,
sebenarnya Syari,ah Islam memiliki dua pesan, yaitu pesan pertama (The First
Massage of Islam) dan pesan kedua (The Sechond Massage of Islam). Pesan kedua
Islam ini menurutnya, merupakan ayat-ayat Makiyyah, namun berbeda sama sakali
dengan angan-angan sosial kita selama ini bahwa Makiyyah-Madaniyyah hanya
sebagai pemilahan tempat atau waktu pewahyuan. Ustadz Mahmoud menyatakan bahwa
ayat-ayat dalam Al-Qur’an harus dimaknai sebagai terks-teks yang berhadapan
dengan audience, atau dalam bahasa Nasr hamid Abu Zaid, merupakan dialektika hubungan
antara wahyu dan realitas, yaitu realitas masyarakat abad VII Masehi lampau.
Pesan Makah atau ayat-ayat Makiyyah merupakan pesan Islam atau ayat-ayat yang
abadi dan Fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat
manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras, dan
lain-lain. Dalam arti bahwa manusia pertama kali diseru untuk masuk Islam
paripurna melalui ayat-ayat Makiyyah (pesan Kedua). Pesan itu ditandai dengan
persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih,
beragama, dan berkeyakinan. Baik substansi pesan Islam periode Makah maupun
perilaku pengembangannya selama periaode Makah, semuanya didasarkan pada ‘ismah,
yaitu kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau bayangan kekerasan dan paksaan
apa pun.[10]
Namun, ketika tinggkat tertinggi dari pesan itu
dengan keras dan dengan tidak masuk akal ditolak dan secara praksis ditunjukkan
bahwa pada umumnya masyarakat abad VII Masehi belum siap untuk melaksanakannya,
maka pesan yang lebih realistik pada masa Madinah (The First Message of
Islam) diberikan dan dilaksanakan. Dengan jalan ini, aspek-aspek pesan
periode Makah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktik pada konteks
sejarah abad VII Masehi, ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip yang lebih
praktis yang diwahyukan dan diterapkan pada masa Madinah. Tetapi, dalam
pandangan Ustadz Mahmoud Muhammad Taha aspek-aspek pesan Makah yang ditunda
pelaksanaannya itu tidak akan pernah hilang sebagai sebuah sumber hukum. Ia
hanya ditangguhkan pelaksanaannya dalam kondisi yang tepat dimasa depan.
C. Hikmah adanya Nasikh dan Mansukh
Adapun Hikmahnya adalah :
1. Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah
takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika
manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT.
Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak
logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi,
bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini
akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha
Menentukan.
2. Dengan nasikh dan mansukh ini
diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu
memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, Karena pada
kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk
kemaslahatan dan kebaikan kita.
3. Memelihara kemaslahatan hamba.
4. Perkembangan tasyri’
menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat
Islam.
5. Cobaan dan ujian bagi seorang
mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
6.
Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasikh
yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.
Sedangkan mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum
diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Setelah
mengeksplorasi berbagai konsep Naskh, pemakalah melihat adanya
pergeseran pemikiran para ulama dalam memahami nasakh. Menurut pemakalah,
pemahaman para ulama Mutaqaddimin dan Muta’akhuirin lebih banyak didasarkan
pada bagaimana mereka melihat adanya pertentangan antara ayat yang satu dengan
ayat yang lain dengan kurang mempertimbangkan realitas masyarakat yang ada saat
itu. Tetapi konsep nasakh-nya Ustadzd Mahmoed adalah bersifat tentatif sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi, yakni
ayat mana yang dibutuhkan pada masa tertentu, maka ayat tersebutlah yang
diberlakukan. Adapun ayat yang tidak diperlukan, karena tidak relevan dengan
perkembangan kontemporer diposisikan sebagai ayat yang mansukh. Konsep nasakh Ustadz Mahmoed ini sangat menarik, walaupun tidak sejalan dengan
pemahaman jumhur ulama. Gagasan Ustadz Mahmoed tentang konsep nasakh
patut diapresiasi dan tidak seharusnya
ditolak hanya karena bertentangan dengan yang telah digagas oleh ulama
terdahulu. Apalagi pemaknaan nasakh oleh ulama terdahulu tersebut juga
bersifat ijtihadi, tidak ada penjelasan
dari Alquran dan Sunnah bagaimana cara kerja nasakh yang
sesungguhnya secara mansus.
Banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari Nasikh
Mansukh diantaranya pelajaran bahwa Allah yang Maha Menentukan, Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang. Nasikh Mansukh
juga sebagai ujian keimanan hamba sejauh mana dia mentaati perintah
tuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberalies, Human Rigt
and International Low, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany, Dekonstruksi
Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak asasai Manusia dan Hubungan Internasional
dalam Islam, Buku I, Cet III, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
DEPAG.
2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta.
Mahmoud
Muhamed Taha, The Second Massage of Islam, alih bahasa Nur Rachman, Syari’ah
Demokratik, Cet I. Surabaya: eLSAD, 1996.
Syaikh
Manna’ Al-Qaththan. 2011, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Kautsar.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.
Tim Penyusun MKD. 2011. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel
[2] Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 2011), hlm. 123
[4] Syaikh Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar,
2011), hal 291
[8] Ibid, hal 147
[9] Ibid, hal 147
[10] Ahmad Suaedy dan Amiruddin
ar-Rany, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak asasai Manusia dan
Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. 103.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar