Rasa takut kepada Allah dan kemuliaan akhlaq kepada semua makhluk merupakan
kekayaan utama para ulama. Lalu mengapa ada ulama jahat? Di masa Rasulullah
belum ada orang yang disebut ulama, walaupun para sahabat Baginda Nabi Muhammad
Salallaahu 'alaihi wa salam banyak yang faqih di bidang agama. Ali bin Abi
Thalib, misalnya adalah seorang yang sangat 'alim, yang karena ketinggian
ilmunya disebut-sebut Rasulullah sebagai baabul 'ilmi, pintunya ilmu setelah
menyebut dirinya sebagai gudangnya ilmu.
Ibnu Mas'ud adalah seorang ahli tafsir. Ia sangat faham isi al-Qur'an. Bahkan pada masa Rasulullah masih hidup, ia sering diminta untuk membacakan ayat al-Qur'an agar diengar oleh Rasulullah. Suaranya yang merdu dan penghayatannya yang mantap, menjadikan Rasulullah menangis hingga meleleh air matanya membasahi pipinya.
Ibnu Abbas juga demikian. Meskipun ia sangat belia ketika bersama Rasulullah, tapi kecerdasannya sudah diakui. Bakat keulamaannya sudah dilihat, bahkan disampaikan Rasulullah kepada sahabat lainnya. Meskipun demikian, mereka semua tidak pernah disebut-sebut sebagai ulama, karena sebutan "sahabat Rasulullah" itu jauh lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan sebutan ulama.
Menyadari arti pentingnya ulama, sejak awal Rasulullah telah menyiapkan lembaga pendidikan khusus buat mereka. Mereka ditempatnya di serambi masjid yang setiap saat bisa mendengarkan langsung khutbah, ceramah, dan dialog-dialog Rasulullah yang lebih banyak dilakukan di mesjid. Rasulullah secara khusus juga mengajar mereka.
Adalah Abu Hurairah, seorang sahabat yang bergabung dalam barisan Islam hampir pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah. Akan tetapi karena intensitasnya bertemu dengan Rasulullah di masjid dan dalam pertemuan-pertemuan lainnya, maka dari dirinya terkumpul ribuan hadits. Ia adalah perawi hadits yang sangat produktif. Hal itu sangat dimungkinkan karena setelah keislamannya, Abu Hurairah mengabdikan sepenuhnya pada ilmu dengan cara hidup di serambi masjid Nabawi sebagai ahlus-suffah.
Jika pada masa sahabat sudah banyak orang yang layak disebut sebagai ulama, meskipun tak pernah menyandang gelar ulama, maka pada masa tabi'in lebih banyak lagi orang yang alim di bidang agama. Demikian juga pada masa tabi't-tabi'in, jumlah orang yang alim menjadi belipat ganda. Mereka itulah yang kemudian dikenal dalam khazanah islam sebagai ulama salaf, sedangkan para ulama yang terlahir setelah priode-priode awal itu disebut sebagai ulama khalaf. Sebutan salaf dan khalaf tidak lebih dari sekadar istilah yang membedakan mereka dari segi waktu saja.
Meskipun demikian, karena kedekatannya dengan masa Rasulullah, perbedaan waktu itu akhirnya juga menjadi sangat penting. Yang berarti bahwa ulama salaf lebih memiliki otoritas dibandingkan dengan ulama khalaf.
Para ulama, baik yang salaf maupun yang khalaf mempunyai kedudukan khusus di masyarakat. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas dalam kekuasaan tapi pengaruh mereka sangat kuat. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah pemimpin informal, bahkan pada saat-saat tertentu mereka disebut sebagai penguasa bayangan.
Posisi strategis ulama inilah yang seringkali menjadi ajang perebutan. Para penguasa di segala zaman selalu menarik ulama mendekati kekuasaan. Ada yang berhasil direkrut dan dijadikan alat kekuasaan. Tapi tidak sedikit di antara mereka yang lebih berhati-hati dengan cara mengambil jarak dengan kekuasaan. Sebagian lagi lebih suka menjadi oposan, yang selalu mengambil jalan yang berseberangan dengan kekuasaan.
Ketiga kelompok itu mempunyai alasan masing-masing, sebab jauh dekatnya mereka dari kekuasaan bukan hal yang subtantif. Yang subtansif adalah, apakah mereka, baik yang mengambil jalan mendekat atau menjauh dengan kekuasaan itu telah menjalankan fungsinya sebagai ulama? Apakah dengan kedekatan atau kejauhan mereka itu bisa menjalankan missinya sebagai ulama?
Rasulullah ketika meninggal dunia tidak mewariskan apa-apa, kecuali ilmu kepada ummatnya. Para ulama, yaitu orang-orang yang banyak memperoleh ilmu yang diajarkan Rasulullah, disebut sebagai pewaris nabi. Hadits nabi juga menyebutnya demikian, "al-'Ulama'u waratsatul anbiyaa, para ulama itu adalah pewaris para nabi."
Kekayaan Jiwa
Ulama tidak identik dengan orang yang pandai di bidang agama. Memang penguasaan ilmu menjadi syarat mutlak bagi seorang ulama, namun demikian integritas dan moralitas justru menjadi hal yang paling utama. Ada dua karakter kejiwaan yang mutlak dimiliki seseorang yang menjadi pewaris Nabi. Pertama, rasa takutnya yang hanya kepada Allah melebihi rasa takut yang dimiliki kaumnya. Kedua, keluhuran akhlaq ulama kepada makhluk Allah melebihi siapapun di antara kaumnya.
Seperti diketahui bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Ilmu harus diamalkan, dan bagi ulama setiap amal itu disertai dengan perasaan takut kepada Allah swt.
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah para ulama." (Faathir: 28)
Rasa takut itu membuat ketaatan para ulama, kecintaannya, serta ketekunannya menjalankan perintah Allah dan semangat menjauhi larangan-Nya melebihi yang dimiliki kaumnya.
Selain mewarisi ilmunya, ulama juga mewarisi tugas utamanya. Dalam kaitan ini Rasulullah pernah bersabda:
"Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia." (HR Al-Bazzar)
Tugas utamanya para nabi adalah menyempurnakan akhlaq. Bagaimana seorang ulama bisa menjalankan tugas ini jika mereka sendiri tidak sempurna akhlaqnya? Di sini persoalan integritas dan moralitas menjadi sesuatu yang paling utama. Bagi seorang ulama, antara penguasaan ilmu dan akhlaq tidak bisa dipisahkan.
Merupakan musibah yang teramat besar jika ummat Islam mengangkat atau memposisikan seseorang sebagai ulama, sementara integritas dan moralitasnya masih dipertanyakan. Seleksi pertama para Ulama adalah moralitasnya, karena posisinya sebagai suluh dan obor masyarakat.
Para pengikut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) terdahulu menolak Islam bukan karena kebodohan mereka, bukan pula karena rusaknya akal pikiran. Mereka tidak menerima ajaran Islam semata-mata karena kejahatan para ulama ahlul kitab. Mereka menyembunyikan kebenaran untuk memperoleh sedikit keuntungan duniawi, baik berupa materi, pengaruh, atau kepentingan sesaaat lainnya.
Kejahatan para ulama ahlul kitab itu dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur'an:
"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi al-Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Amat buruklah tukaran yang mereka terima." (Ali Imraan: 187)
Pada ayat yang lain Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menantang api neraka." (al-Baqarah: 174 - 175)
Bagi Allah, dunia dan segala isinya itu tidak ada harganya. Artinya, biarkan seseorang memperoleh dunia dan segala isinya dengan cara menjual agama, tetap akan dikatakan menjual agama dengan harga sedikit. Apalagi jika yang diperolehnya itu sekedar lembaran rupiah atau jabatan tertentu dalam sebuah struktur kekuasaan. Sungguh tak bernilai apa-apa di sisi Allah. Perhatikan hadits berikut ini:
"Perbandingan dunia dengan akhirat itu seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke permukaan laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Dalam hadits lain disebutkan bahwa seandainya di sisi Allah dunia dan seisinya itu lebih bernilai dari seekor lalat, maka kaum kafir tidak akan mendapatkan bagian sedikitpun dari dunia. Hal ini berarti bahwa imbalan dunia sebesar apapun tak bisa ditukarkan dengan agama. Penukaran itu bernilai sangat murah. Hanya orang-orang yang bodoh saja yang mau menukarkan ayat-ayat Allah dengan dunia.
Mengapa ada yang dibenci?
Dalam kenyataannya, justeru tidak sedikit di antara para ulama yang menjual ayat-ayat Allah. Dalam sejarah kita saksikan jumlah mereka sangat banyak, terutama mereka yang menjual dirinya kepada para penguasa. Tugas mereka tidak lain kecuali membenarkan setiap kebijakan penguasa. Tukang stempel, pembenar atas semua kehendak raja.
Sikap dan perilaku para ulama semacam itulah yang menjadikan Karl Marx bangkit dengan kebencian yang luar biasa kepada agama. Agama dipandangnya tidak lebih dari sekadar candu atau opium bagi masyarakat. Dengan agama yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para pendeta, rakyat tetap tanang meskipun didzalimi dan dianiaya oleh penguasa dan para pemilik modal.
Ulama seperti ini selalu saja ada pada setiap zaman dan periode pemerintahan. Sejak dulu hingga sekarang. Tidak saja menimpa pada ulama ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), tapi juga pada Ulama Islam. Mereka adalah budak budak para penguasa, yang selalu siap membela tuannya dengan bahasa agama.
Sepintas sulit dibedakan antara ulama yang benar dengan ulama jahat seperti ini, karena keduanya sama-sama menyitir ayat untuk membenarkan perbuatannya. Akan tetapi orang segera tahu mana yang jahat dan mana yang benar jika yang dinilai adalah sikap dan perilakunya. Integritas dan moralitasnya. Di sini akan nampak sekali perbedaan antara keduanya.
Ulama yang jahat akan membela mati-matian tuannya, walaupun si tuan benar-benar telah berbuat dan berperilaku menyimpang. Apapun yang dilakukan tuannya adalah benar, dan selalu dicarikan pembenarannya. Mereka tidak saja sebagai "Pak Turut", tapi penganjur fanatisme. Seandainya pemimpinnya yang juga penguasa pada saat itu berkata bahwa langit berwarna merah, merekapun membenarkannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak jarang ulama yang mengajak ummatnya masuk ke jurang neraka dengan menggunakan bahasa agama. Jika setan dan para pengikutnya mengajak manusia ke neraka dengan bujukan, rayuan, dan ancaman, maka ulama model ini megajak manusia ke neraka dengan mengutip ayat dan hadits. Inilah yang diperingatkan oleh Allah:
"Sesungguhnya mereka memerintahkan kepadamu berbuat jahat dan keji, dan (memerintahkan) agar kamu sekalian mengucapkan atas nama Allah apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya." (al-Baqarah: 169)
Masih saja dijumpai sampai saat ini ulama yang berapi-api mengutip ayat al-Qur'an dan hadits nabi untuk menghalalkan darah saudaranya sendiri. Mereka mengajak ummatnya untuk membenci kepada seorang Muslim dengan kebencian yang nyata. Tak tanggung-tanggung merekapun menghalalkan darah seseorang atas nama jihad. Padahal telah diketahui bahwa pembunuhan di antara kaum Muslimin merupakan perbuatan dosa, bahkan si pembunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka. Jika si terbunuh dan si pembunuh sama-sama masuk neraka, bagaimana dengan orang yang memerintahkan pembunuhan? Ulama ternyata tidak sedikit yang berperan ganda. Di satu sisi sebagai pemimpin ummat, di sisi lain sebagai provokator.
Pada khutbah terakhir di waktu hijjul wada, Rasulullah Saw berseru: "Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram atas sesama kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, di negeri kalian ini".
Berbagai kerusuhan terjadi, mulai dari zaman Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, hingga sekarang ini selalu bermula dari provokasi para pemimpin agamanya. Yang satu berfatwa menghalalkan darah musuh politiknya, sementara yang lain juga melakukan hal yang sama. Inilah awal dari segala bencana. Kekerasan akhirnya menjadi satu-satunya pilihan untuk membela sang penguasa.
Bencana apalagi yang lebih besar dari musibah seperti ini? Ketika Ulama sudah beralih fungsi menjadi provokator, memanas-manaskan situasi yang sudah panas, maka terjadilah kekerasan, pemerkosaan hak, pemaksaan kehendak, dan kerusuhan massal. Sejarah mencatat berkali-kali peristiwa seperti ini.
Atas dasar catatan sejarah dan kenyataan yang ada saat ini, banyak di antara kaum Muslimin yang akhirnya dihinggapi fobia jika melihat ulamanya berpolitik. Posisi ulama yang sangat strategis di tengah masyarakat seringkali diselewengkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, yaitu membela penguasa yang tak ada jaminan kebenarannya. Mereka beralih dari membela yang benar menjadi membela yang membayar.
Dalam al-Qur'an dijumpai berbagai perumpamaan. Ulama yang menguasai ilmu agama, selalu bicara atas nama agama, tapi tidak mengamalkannya, karena lebih condong kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya, dimisalkan al-Qur'an sebagai anjing. Sebagaimana firman Allah:
"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalau, diulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya ia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (al-A'raaf: 176)
Ibnu Mas'ud adalah seorang ahli tafsir. Ia sangat faham isi al-Qur'an. Bahkan pada masa Rasulullah masih hidup, ia sering diminta untuk membacakan ayat al-Qur'an agar diengar oleh Rasulullah. Suaranya yang merdu dan penghayatannya yang mantap, menjadikan Rasulullah menangis hingga meleleh air matanya membasahi pipinya.
Ibnu Abbas juga demikian. Meskipun ia sangat belia ketika bersama Rasulullah, tapi kecerdasannya sudah diakui. Bakat keulamaannya sudah dilihat, bahkan disampaikan Rasulullah kepada sahabat lainnya. Meskipun demikian, mereka semua tidak pernah disebut-sebut sebagai ulama, karena sebutan "sahabat Rasulullah" itu jauh lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan sebutan ulama.
Menyadari arti pentingnya ulama, sejak awal Rasulullah telah menyiapkan lembaga pendidikan khusus buat mereka. Mereka ditempatnya di serambi masjid yang setiap saat bisa mendengarkan langsung khutbah, ceramah, dan dialog-dialog Rasulullah yang lebih banyak dilakukan di mesjid. Rasulullah secara khusus juga mengajar mereka.
Adalah Abu Hurairah, seorang sahabat yang bergabung dalam barisan Islam hampir pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah. Akan tetapi karena intensitasnya bertemu dengan Rasulullah di masjid dan dalam pertemuan-pertemuan lainnya, maka dari dirinya terkumpul ribuan hadits. Ia adalah perawi hadits yang sangat produktif. Hal itu sangat dimungkinkan karena setelah keislamannya, Abu Hurairah mengabdikan sepenuhnya pada ilmu dengan cara hidup di serambi masjid Nabawi sebagai ahlus-suffah.
Jika pada masa sahabat sudah banyak orang yang layak disebut sebagai ulama, meskipun tak pernah menyandang gelar ulama, maka pada masa tabi'in lebih banyak lagi orang yang alim di bidang agama. Demikian juga pada masa tabi't-tabi'in, jumlah orang yang alim menjadi belipat ganda. Mereka itulah yang kemudian dikenal dalam khazanah islam sebagai ulama salaf, sedangkan para ulama yang terlahir setelah priode-priode awal itu disebut sebagai ulama khalaf. Sebutan salaf dan khalaf tidak lebih dari sekadar istilah yang membedakan mereka dari segi waktu saja.
Meskipun demikian, karena kedekatannya dengan masa Rasulullah, perbedaan waktu itu akhirnya juga menjadi sangat penting. Yang berarti bahwa ulama salaf lebih memiliki otoritas dibandingkan dengan ulama khalaf.
Para ulama, baik yang salaf maupun yang khalaf mempunyai kedudukan khusus di masyarakat. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas dalam kekuasaan tapi pengaruh mereka sangat kuat. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah pemimpin informal, bahkan pada saat-saat tertentu mereka disebut sebagai penguasa bayangan.
Posisi strategis ulama inilah yang seringkali menjadi ajang perebutan. Para penguasa di segala zaman selalu menarik ulama mendekati kekuasaan. Ada yang berhasil direkrut dan dijadikan alat kekuasaan. Tapi tidak sedikit di antara mereka yang lebih berhati-hati dengan cara mengambil jarak dengan kekuasaan. Sebagian lagi lebih suka menjadi oposan, yang selalu mengambil jalan yang berseberangan dengan kekuasaan.
Ketiga kelompok itu mempunyai alasan masing-masing, sebab jauh dekatnya mereka dari kekuasaan bukan hal yang subtantif. Yang subtansif adalah, apakah mereka, baik yang mengambil jalan mendekat atau menjauh dengan kekuasaan itu telah menjalankan fungsinya sebagai ulama? Apakah dengan kedekatan atau kejauhan mereka itu bisa menjalankan missinya sebagai ulama?
Rasulullah ketika meninggal dunia tidak mewariskan apa-apa, kecuali ilmu kepada ummatnya. Para ulama, yaitu orang-orang yang banyak memperoleh ilmu yang diajarkan Rasulullah, disebut sebagai pewaris nabi. Hadits nabi juga menyebutnya demikian, "al-'Ulama'u waratsatul anbiyaa, para ulama itu adalah pewaris para nabi."
Kekayaan Jiwa
Ulama tidak identik dengan orang yang pandai di bidang agama. Memang penguasaan ilmu menjadi syarat mutlak bagi seorang ulama, namun demikian integritas dan moralitas justru menjadi hal yang paling utama. Ada dua karakter kejiwaan yang mutlak dimiliki seseorang yang menjadi pewaris Nabi. Pertama, rasa takutnya yang hanya kepada Allah melebihi rasa takut yang dimiliki kaumnya. Kedua, keluhuran akhlaq ulama kepada makhluk Allah melebihi siapapun di antara kaumnya.
Seperti diketahui bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Ilmu harus diamalkan, dan bagi ulama setiap amal itu disertai dengan perasaan takut kepada Allah swt.
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah para ulama." (Faathir: 28)
Rasa takut itu membuat ketaatan para ulama, kecintaannya, serta ketekunannya menjalankan perintah Allah dan semangat menjauhi larangan-Nya melebihi yang dimiliki kaumnya.
Selain mewarisi ilmunya, ulama juga mewarisi tugas utamanya. Dalam kaitan ini Rasulullah pernah bersabda:
"Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia." (HR Al-Bazzar)
Tugas utamanya para nabi adalah menyempurnakan akhlaq. Bagaimana seorang ulama bisa menjalankan tugas ini jika mereka sendiri tidak sempurna akhlaqnya? Di sini persoalan integritas dan moralitas menjadi sesuatu yang paling utama. Bagi seorang ulama, antara penguasaan ilmu dan akhlaq tidak bisa dipisahkan.
Merupakan musibah yang teramat besar jika ummat Islam mengangkat atau memposisikan seseorang sebagai ulama, sementara integritas dan moralitasnya masih dipertanyakan. Seleksi pertama para Ulama adalah moralitasnya, karena posisinya sebagai suluh dan obor masyarakat.
Para pengikut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) terdahulu menolak Islam bukan karena kebodohan mereka, bukan pula karena rusaknya akal pikiran. Mereka tidak menerima ajaran Islam semata-mata karena kejahatan para ulama ahlul kitab. Mereka menyembunyikan kebenaran untuk memperoleh sedikit keuntungan duniawi, baik berupa materi, pengaruh, atau kepentingan sesaaat lainnya.
Kejahatan para ulama ahlul kitab itu dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur'an:
"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi al-Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Amat buruklah tukaran yang mereka terima." (Ali Imraan: 187)
Pada ayat yang lain Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menantang api neraka." (al-Baqarah: 174 - 175)
Bagi Allah, dunia dan segala isinya itu tidak ada harganya. Artinya, biarkan seseorang memperoleh dunia dan segala isinya dengan cara menjual agama, tetap akan dikatakan menjual agama dengan harga sedikit. Apalagi jika yang diperolehnya itu sekedar lembaran rupiah atau jabatan tertentu dalam sebuah struktur kekuasaan. Sungguh tak bernilai apa-apa di sisi Allah. Perhatikan hadits berikut ini:
"Perbandingan dunia dengan akhirat itu seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke permukaan laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Dalam hadits lain disebutkan bahwa seandainya di sisi Allah dunia dan seisinya itu lebih bernilai dari seekor lalat, maka kaum kafir tidak akan mendapatkan bagian sedikitpun dari dunia. Hal ini berarti bahwa imbalan dunia sebesar apapun tak bisa ditukarkan dengan agama. Penukaran itu bernilai sangat murah. Hanya orang-orang yang bodoh saja yang mau menukarkan ayat-ayat Allah dengan dunia.
Mengapa ada yang dibenci?
Dalam kenyataannya, justeru tidak sedikit di antara para ulama yang menjual ayat-ayat Allah. Dalam sejarah kita saksikan jumlah mereka sangat banyak, terutama mereka yang menjual dirinya kepada para penguasa. Tugas mereka tidak lain kecuali membenarkan setiap kebijakan penguasa. Tukang stempel, pembenar atas semua kehendak raja.
Sikap dan perilaku para ulama semacam itulah yang menjadikan Karl Marx bangkit dengan kebencian yang luar biasa kepada agama. Agama dipandangnya tidak lebih dari sekadar candu atau opium bagi masyarakat. Dengan agama yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para pendeta, rakyat tetap tanang meskipun didzalimi dan dianiaya oleh penguasa dan para pemilik modal.
Ulama seperti ini selalu saja ada pada setiap zaman dan periode pemerintahan. Sejak dulu hingga sekarang. Tidak saja menimpa pada ulama ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), tapi juga pada Ulama Islam. Mereka adalah budak budak para penguasa, yang selalu siap membela tuannya dengan bahasa agama.
Sepintas sulit dibedakan antara ulama yang benar dengan ulama jahat seperti ini, karena keduanya sama-sama menyitir ayat untuk membenarkan perbuatannya. Akan tetapi orang segera tahu mana yang jahat dan mana yang benar jika yang dinilai adalah sikap dan perilakunya. Integritas dan moralitasnya. Di sini akan nampak sekali perbedaan antara keduanya.
Ulama yang jahat akan membela mati-matian tuannya, walaupun si tuan benar-benar telah berbuat dan berperilaku menyimpang. Apapun yang dilakukan tuannya adalah benar, dan selalu dicarikan pembenarannya. Mereka tidak saja sebagai "Pak Turut", tapi penganjur fanatisme. Seandainya pemimpinnya yang juga penguasa pada saat itu berkata bahwa langit berwarna merah, merekapun membenarkannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak jarang ulama yang mengajak ummatnya masuk ke jurang neraka dengan menggunakan bahasa agama. Jika setan dan para pengikutnya mengajak manusia ke neraka dengan bujukan, rayuan, dan ancaman, maka ulama model ini megajak manusia ke neraka dengan mengutip ayat dan hadits. Inilah yang diperingatkan oleh Allah:
"Sesungguhnya mereka memerintahkan kepadamu berbuat jahat dan keji, dan (memerintahkan) agar kamu sekalian mengucapkan atas nama Allah apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya." (al-Baqarah: 169)
Masih saja dijumpai sampai saat ini ulama yang berapi-api mengutip ayat al-Qur'an dan hadits nabi untuk menghalalkan darah saudaranya sendiri. Mereka mengajak ummatnya untuk membenci kepada seorang Muslim dengan kebencian yang nyata. Tak tanggung-tanggung merekapun menghalalkan darah seseorang atas nama jihad. Padahal telah diketahui bahwa pembunuhan di antara kaum Muslimin merupakan perbuatan dosa, bahkan si pembunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka. Jika si terbunuh dan si pembunuh sama-sama masuk neraka, bagaimana dengan orang yang memerintahkan pembunuhan? Ulama ternyata tidak sedikit yang berperan ganda. Di satu sisi sebagai pemimpin ummat, di sisi lain sebagai provokator.
Pada khutbah terakhir di waktu hijjul wada, Rasulullah Saw berseru: "Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram atas sesama kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, di negeri kalian ini".
Berbagai kerusuhan terjadi, mulai dari zaman Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, hingga sekarang ini selalu bermula dari provokasi para pemimpin agamanya. Yang satu berfatwa menghalalkan darah musuh politiknya, sementara yang lain juga melakukan hal yang sama. Inilah awal dari segala bencana. Kekerasan akhirnya menjadi satu-satunya pilihan untuk membela sang penguasa.
Bencana apalagi yang lebih besar dari musibah seperti ini? Ketika Ulama sudah beralih fungsi menjadi provokator, memanas-manaskan situasi yang sudah panas, maka terjadilah kekerasan, pemerkosaan hak, pemaksaan kehendak, dan kerusuhan massal. Sejarah mencatat berkali-kali peristiwa seperti ini.
Atas dasar catatan sejarah dan kenyataan yang ada saat ini, banyak di antara kaum Muslimin yang akhirnya dihinggapi fobia jika melihat ulamanya berpolitik. Posisi ulama yang sangat strategis di tengah masyarakat seringkali diselewengkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, yaitu membela penguasa yang tak ada jaminan kebenarannya. Mereka beralih dari membela yang benar menjadi membela yang membayar.
Dalam al-Qur'an dijumpai berbagai perumpamaan. Ulama yang menguasai ilmu agama, selalu bicara atas nama agama, tapi tidak mengamalkannya, karena lebih condong kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya, dimisalkan al-Qur'an sebagai anjing. Sebagaimana firman Allah:
"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalau, diulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya ia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (al-A'raaf: 176)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar