Sekilas saja, pada kesempatan kali ini akan kita buka kembali album kenangan sejarah yang pernah terjadi di zaman Nabi saw. Dikisahkan ketika itu, Nabi saw memerintahkan para sahabatnya untuk pergi bersamanya ke suatu daerah bernama, Tabuk. Daerah yang berjarak kurang lebih empat ratus mil utara kota Madinah. Abu Dzar al-Ghifari ra, seorang sahabat ‘papan atas’, termasuk dalam rombongan pasukan tersebut. Terlihat ia sedang sibuk bergegas-kemas mempersiapkan bekal perjalanan. Fisik dan psikologis. Di tengah keriuhan suasana persiapan menjelang keberangkatan, di kejauhan tampak terlihat ada pemandangan yang kurang wajar. Kalau diperhatikan dengan saksama ternyata tidak semua orang yang ada saat itu langsung bergegas melakukan persiapan sesaat setelah Nabi saw memerintahkan untuk segera berangkat ke Tabuk. Terlihat ada sebagian di antara mereka yang masih keberatan untuk berangkat, dengan alasan yang dibuat-buat. Ada lagi yang berangkat tapi lesu darah. Ogah-ogahan. Terhadap mereka yang masih enggan berangkat, Nabi saw segera menghampiri dan menyapa, lalu menerangkan dengan lemah lembut argumentasi yang mendasari strategi dan arti pentingnya keberangkatan rombongan ke Tabuk demi tegaknya agama Islam. Percuma. Sebagian dari mereka tetap enggan berangkat. Pada akhirnya, dengan bilangan anggota yang tidak seberapa besar, berangkatlah rombongan tersebut di bawah komando panglima perang, Muhammad saw.
Di tengah perjalanan, khafilah ini menghadapi kesulitan kekurangan bekal makanan. Rasa cinta pada Nabi(lah)yang telah berhasil menepis berbagai kesulitan yang mereka alami. Satu per satu anggota rombongan ini pun mulai ada yang tercecer. Tertinggal jauh di belakang. Nabi saw diberitahu. Dan setiap kali diberitahu, Beliau saw berujar, ”Jika ia orang baik, Allah akan mengembalikannya pada kita --menyusul, dan jika ia orang yang tidak baik, lebih baik ia pergi --tidak perlu menyusul”.
Mendengar ucapan Nabi saw tadi, tiba-tiba dibenak kita menyembul pertanyaan, mengapa Nabi saw sampai berkata demikian ini. Adakah penumpang gelap yang telah menyusup ke dalam rombongan lalu siap memaki bila misi ini gagal, dan siap mendompleng sebagai pahlawan kesiangan bila misi ini berhasil. Marilah sejenak kita renungkan ucapan Beliau. Ternyata ucapan Nabi saw tadi sangat logis. Coba kita kembali ke situasi psikologis-spiritual peserta rombongan sebelum berangkat. Di antara mereka ada yang spontan mematuhi perintahnya. Ada yang pikir-pikir dulu, berangkat apa tidak. Ada yang ikut sembari bermalas-malasan. Ada yang betul-betul membangkang. Boleh jadi sebagian dari mereka yang, dulu nyaris tidak berangkat, namun akhirnya berangkat juga, patah semangat. Keengganan untuk bisa mengerti arti sabda Sang Nabi saw, ditambah lagi dengan beratnya medan perjalanan yang musti dilalui , yaitu terpaan mentari sepanjang 400 mil tanpa keteduhan, naik onta! Inilah yang menjadi penyebabnya. Ada yang kembali arah, putus di jalan, ada yang meneruskan perjalanan. Dalam konteks kualitas psikologis-spiritual para peserta rombongan yang bervariasi ini, maka ucapan Nabi saw tadi menjadi sangat bisa difahami. Jika mereka orang baik, maksudnya taat pada Nabi saw, seberat apapun rintangan yang ada, mereka tetap meneruskan perjalanan. Sebaliknya, bagi mereka yang semula memang enggan menaati perintah Nabi saw, tentunya semangat mereka mudah menjadi lembek. Rapuh. Melayu, lalu putus di jalan.
Syahdan, onta Abu Dzar yang kurus dan lemah tertinggal jauh di belakang. “Ya Rasulullah! Abu Dzar tertinggal!” Nabi saw pun mengulangi kalimat tadi.
Abu Dzar ra semakin jauh tertinggal. Ontanya, pada akhirnya, ngambek tak mau berjalan. Tanpa rasa gelisah, ia turun dan membebaskan onta tersebut. Menyusul rombongan yang sudah tidak terlihat lagi. Berjalan kaki, seorang diri! Padang tandus menganga berwarna sepi, telah menanti. Selebihnya tentu mudah ditebak. Panas mentari mulai menggores kulitnya. Tenaganya terkuras dan keringatnya tampak pula mulai beranak pinak.
Dengan iklim yang jauh dari kata gemah ripah loh jinawi, di tengah perjalanan, terkadang beliau beristirahat sejenak di sela batu-batu yang terlindung panas oleh bebukitan. Sesaat beliau melepas lelah, sekawanan debu-debu pun langsung menyerbu mendekati tubuhnya yang kian lusuh. Persediaan air yang ia bawa semakin berkurang. “Lalu bagaimana dengan persediaan air yang dibawa oleh Rasulullah saw?” “Masih tersisa ataukah sudah habis?” Hatinya berbisik sendiri. Maka ia pun menunda minum! Sejurus kemudian ia beranjak dari tempatnya berteduh, mengusir kawanan debu dari bajunya. Menarik nafas dalam-dalam serta menghembuskannya keluar dengan suatu tekanan heroik. Bergegas menyambut bara angin sahara, menyelesaikan sisa perjalanan.
Di kejauhan, rombongan yang telah sampai di tempat, lamat-lamat melihat sesosok orang yang berjalan terhuyung-huyung. “Ya Rasulullah! Kami melihat seseorang menuju ke arah kita!”
“Semoga itu Abu Dzar”, bibir bening Beliau saw berucap lirih. Sosok itu makin dekat, memang itu Abu Dzar ra. Gemuruh semangatnya tak mau menyerah pada kelemahan fisiknya. Nabi saw segera memerintahkan beberapa orang untuk menyusul Abu Dzar ra sambil membawa air supaya tidak keburu roboh. Tapi, aneh! Abu Dzar ra yang tercekik haus, malah tersenyum lalu menolak halus pemberian air itu seraya berkata serak bahwa ia masih mempunyai sedikit air.
Setelah sampai di tempat dan bergabung bersama rombongan lagi, Beliau saw berkata setengah bertanya, “Engkau membawa air, tetapi tidak minum dan engkau hampir tidak kuat menahan haus”.
“Memang benar, saya masih menyimpan air tapi saya belum akan minum kalau itu mendahuluimu, ya Rasulullah!”
Pembaca Budiman. Kisah menarik ini sengaja saya potong sampai di sini. Dari sini kita bisa menyimak, bagaimana Abu Dzar dengan gilang gemilang telah berhasil memperagakan dirinya sebagai seorang sahabat papan atas dalam arti yang selengkapnya. Ego yang ada pada dirinya sudah tidak terlihat sama sekali, yang tersisa tinggal pengabdian pada kekasihnya, Muhammad saw. Betapa indah harmoni yang terjalin antara penghayatan nilai Islam yang berpadu dengan perbuatan nyata. Dia telah membuktikan, Islam bukan agama teori semata, lebih dari itu, ia agama amali. Di sini, agama sebagai bahasa langit telah dialih-bahasakan oleh sahabat setia ini menjadi bahasa bumi. Bahasa manusia. Dengan demikian, lebih jauh tentulah bisa disimpulkan, Rasulullah saw telah berhasil menanamkan hakikat tauhid dalam pandangan dunia seorang Abu Dzar al-Ghiffari ra. Hakekat tauhid telah benar-benar bersemayam di dalam jiwanya, lalu muncul dalam bentuk perilaku sebagai seorang sahabat setia.
Perbedaan kualitas hubungan yang mencolok antara murid dari seorang guru filsafat dan murid dari seorang Nabi antara lain ialah hubungan murid dengan guru filsafat cenderung dangkal, kontraktual, sebatas pemikiran semata. Kurang ada ikatan psikologis yang mendalam, dan sisi empatinya sangat cair. Di pihak lain, hubungan antara murid dengan Nabi lebih bersifat keterpesonaan spiritual dari si murid pada karakter Sang Nabi. Hubungan keduanya sangat hangat dan memberi warna dalam kehidupan bathiniyah mereka berdua. Si murid pun tidak segan-segan berkorban demi guru yang dicintainya, dan sang guru pun berkonsentrasi penuh memperhatikan setiap perkembangan dan peningkatan posisi spiritual si murid. Hal lain yang membuat murid dari seorang nabi bisa begitu taat dikarenakan para nabi mengarahkan, membimbing perhatian muridnya pada kemahabesaran Sang Pencipta. Bukan pada kebesaran diri nabi sendiri.
Tindakan Abu Dzar di atas tadi, selain patuh atas perintah Nabi saw, juga ikhlas menanggung berbagai kesulitan yang dialami sebagai akibat logis dari kepatuhan kepada Nabi saw. Bila diteruskan sedikit, taat kepada Nabi saw, artinya sama saja taat pada Allah swt. Hal ini dikarenakan sabda Nabi saw ialah wahyu semata. Sabda Beliau saw tidak akan pernah keluar dari hawa nafsunya. Ada sekuntum hikmah yang berbunyi: tidak ada cinta tanpa perjuangan, tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan, dan tidak ada pengorbanan tanpa keikhlasan. Demikian bunyi hikmah tersebut. Dan, Abu Dzar ra, telah memperagakannya. Dengan demikian mudah bagi kita untuk menirunya. Meniru? Ya, menirunya!
Ikhlas dalam bahasa yang sederhana ialah menyucikan segala perbuatan dari semua niat kecuali kepada Allah swt. Orang yang ikhlas ialah mereka yang tidak pernah terbetik di hatinya untuk unjuk amal dan takjub terhadap perbuatannya sendiri. Kesadaran bahwa segala nikmat yang diperoleh berasal dari-Nya lalu harus dikembalikan lagi pada Sang Maha Pemilik lewat jalur-Nya merupakan kesadaran awal yang musti dimiliki agar seseorang bisa berbuat secara ikhlas.
Namun, sebelum perbincangan ini dilanjutkan, buru-buru saya sampaikan bahwa ikhlas itu berbeda dengan gratis. Ikhlas tidak sama dengan gratisan. Acapkali kata ikhlas ini sengaja disalahgunakan oleh sebagian orang untuk mengurangi hak individu. Mereka yang sering mengkorting hak orang lain telah memanfaatkan kondisi psikologis ini untuk sesedikit mungkin mengeluarkan dana .
Lalu sebaliknya, mereka yang menuntut haknya atas jerih payah yang telah dikeluarkan, bukan berarti orang ini tidak ikhlas. Ikhlas tidak bisa dinilai dari penampakkan fisik saja. Dalam satu kesempatan Nabi saw bersabda bahwa Allah swt berfirman, ikhlas ialah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Aku cintai.
Lewat hadist ini pula diketahui bahwa ikhlas merupakan bingkisan spiritual dari Allah swt bagi hamba-Nya yang dicintai. Boleh jadi, ketika seseorang melakukan perbuatan, ia sendiri tidak bisa menilai. Perbuatan itu dilakukan secara ikhlas atau tidak ikhlas. Karena Allah atau bukan karena Allah. Dan sebaiknya ia malah tidak perlu sadar kalau perbuatannya ia lakukan secara ikhlas. Seorang sufi pernah berkata, jika orang itu sadar bahwa perbuatannya dilakukan secara ikhlas maka keikhlasannya itu perlu diikhlaskan lagi.
Sebenarnya, ada daftar pertanyaan yang telah menunggu untuk dijawab dari tadi seandainya tema ikhlas kali ini kita refleksikan dalam kehidupan sekarang ini. Misalnya, dalam suasana hidup yang kapitalistik-materialistik, serba kredit dan parasit seperti dewasa ini, masih adakah ruang dan peluang untuk melakukan perbuatan secara ikhlas. Bila interaksi sosial terlihat sangat predatory masih bermaknakah bila perbincangan tentang perbuatan ikhlas dibuka kembali. Bukankah gara-gara status kontrak sosial di semua lini kehidupan ini telah menjadikan kata ikhlas tergencet di sudut-sudut kehidupan. Kondisi sosial seperti inilah yang menjadikan kata ikhlas identik dengan kata, tak bergairah. Kata ikhlas senafas dengan kata, menyerah tanpa perlawanan. Bila tidak ikhlas akan dikatakan, tidak baik hati. Nah!
Tapi baiklah. Kita akui saja kehidupan masyarakat abad ini adalah kehidupan masyarakat yang parasitisma. Ideologi kapitalistik dengan segala akibat sampingannya telah membuat kata ikhlas sudah tidak populer lagi. Apalagi bila kata ini didengar dan dipakai oleh anak-anak muda sekarang. Ia berubah menjadi kata yang menakutkan. Mereka, karena telah menjadi anak zaman kapitalisme, seringkali malah menggunakan kata ikhlas untuk perbuatan yang tidak terpuji. Misalnya, saya ikhlas koq mbeliin kamu minum keras!
Berangkat dari persoalan di atas, kiranya perlu dibedakan antara ajaran agama dengan realitas sosial yang ada. Karena kehadiran ajaran agama untuk merubah kondisi sosial ke arah yang lebih baik. Ketika Allah swt mengangkat Musa as sebagai Rosul, kondisi sosial saat itu begitu menyedihkan. Kaum Yahudi ditindas oleh Fir’aun, dijadikan budak belian. Inilah romusa sejarah yang akan dikenang sepanjang masa. Musa as datang membawa nilai-nilai Taurat. Membebaskan kaum Yahudi. Berhasil. Begitu juga dengan kehadiran Muhammad saw sebagai utusan. Beliau saw datang membawa pesan al-Qur’an di zaman jahiliyah . Akibatnya, era jahiliyah tidak berlangsung lama. Muhammad saw dengan menyandang predikat cum laude berhasil pula menumbangkan era ini.
Dengan demikian, bila ditarik sesimpul pendapat, ajaran agama justru berperan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya yang berkembang di masyarakat. Dengan ajaran agama masyarakat akan memperoleh pedoman tentang bagaimana mereka harus menangkap dan menyikapi realitas kehidupan dan penghidupan ini. Dari sebab itu, tema-tema keagamaan tidak akan pernah basi untuk terus di kampanyekan. Untuk terus didengang-dengungkan. Ia tidak pernah lapuk digerus zaman sekalipun berada ditengah-tengah situasi sosial yang bercorak parasitisma seperti yang telah disinggung di atas. Hanya saja, persoalannya ialah bagaimana mengemas ajaran agama sehingga terkesan menarik, lembut, cerdas dan berbudaya sehingga masyarakat tidak alergi lagi bila harus mendengar istilah-istilah yang diambil dari ajaran-ajaran agama. Namun ada yang jauh lebih penting dari itu, si penyampai agama sendiri harus bisa menjalani apa yang mereka sampaikan. Bukankah Rasul saw pernah menasehati, bahasa nyata dalam perbuatan itu lebih fasih dari bahasa yang diucapkan lidah. Imam Ali kwh sempat menasehati kita pula, bila nasehat itu keluar dari lidah maka hanya akan diterima oleh telinga. Bila nasehat itu keluar dari hati maka akan diterima oleh hati pula.
Tapi, lagi-lagi saya tambahkan, bahwa Islam tidak anti kapitalisme. Islam tidak anti kekayaan. Sebagaimana disabdakan oleh Beliau saw, “Bekerjalah untuk duniamu seperti engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seperti engkau akan mati esok hari. Atau ada sabda Beliau saw yang lain bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Kedua sabda ini memperlihatkan bahwa Islam sangat memperhatikan denyut nadi kehidupan ekonomi, tapi jangan sekali-kali mengabaikan kehidupan akhirat. Ada keseimbangan di sana. Tinggal sekarang bagaimana kita menyikapi kekayaan yang telah kita peroleh untuk membantu sesama demi kepentingan kehidupan kita kelak.
Sampai di sini perlu ditekankan bahwa berbuat ikhlas dalam kondisi sosial seperti sekarang ini memang diakui terasa sulit. Selalu saja ada pamrih kepada selain Allah swt yang setia menempel disetiap langkah kita sehari-hari. Namun hal ini malah merupakan tantangan bagi kita. Ada sebagian dari kita yang beranggapan, bila kita hidup di masyarakat purba yang serba tidak bayar, kita akan lebih mudah untuk berbuat ikhlas.Gampang bertulus hati. Benarkah anggapan ini? Belum tentu. Buktinya, penindasan atas sesama sudah terjadi sejak dulu kala. Jauh sebelum zaman serba beaya seperti saat ini.
Boleh jadi, bila kita bisa berbuat ikhlas di era serba uang, nilainya akan jauh lebih tinggi dibandingkan bila kita berbuat ikhlas dalam suasana hidup tanpa godaan. Bagaimana tidak, godaan untuk selalu mengeksploitasi sesama terus menghampiri kita. Namun, hal itu tidak kita lakukan, bahkan sebagian dari kekayaan, kita sisihkan bagi mereka yang berkekurangan. Kita tengok lagi lintasan kisah Abu Dzar ra di atas. Rasa-rasanya, bila beliau ra taat terhadap perintah Nabi saw dan bersedia menanggung resikonya secara ikhlas dalam kondisi damai, jelas hal ini belum tentu merupakan prestasi yang patut diacungi jempol. Lumrah saja. Hampir semua orang bisa melakukan hal itu. Tapi lihatlah, beliau ra tetap taat secara ikhlas atas perintah Nabi saw dengan segala resiko yang harus diterima dalam situasi sulit dan menderita. Ini yang luar biasa.
Di penghujung perbincangan ini marilah kita tengadahkan tangan. Bermunajat kepada Yang Maha Cepat Ridha-Nya agar kita dianugerahi bingkisan spiritual berupa rasa ikhlas di setiap langkah dalam ruang kehidupan dan penghidupan ini. Sebagian untaian munajat yang tertuang di bawah ini dilantunkan oleh Imam Ali Zainal Abidin bin Husein, cicit dari Rasulullah saw.
Dengan Asma Allah yang Mahakasih dan Mahasayang.
Ilahi,
apakah orang yang telah mencicipi manisnya cinta-Mu akan menginginkan pengganti selain-Mu,
apakah orang yang telah bersanding di samping-Mu akan mencari penukar selain-Mu.
Ilahi,
Jadikan kami di antara orang yang Kau pilih untuk pendamping dan kekasih-Mu,
yang Kau ikhlaskan untuk memperoleh cinta dan kasih-Mu,
yang Kau rindukan untuk datang menemui-Mu, yang Kau ridhakan (hatinya) untuk menerima qadha-Mu,
yang Kau anugerahkan (kebahagiaan) melihat wajah-Mu,
yang Kau limpahkan keridhaan-Mu,
yang Kau lindungi dari pengusiran dan kebencian-Mu,
yang Kau persiapkan baginya kedudukan shiddiq di samping-Mu,
yang Kau istimewakan dengan makrifat-Mu,
yang Kau arahkan untuk mengabdi-Mu,
yang Kau tenggelamkan hatinya untuk iradah-Mu,
yang Kau pilih untuk menyaksikan-Mu,
yang Kau kosongkan dirinya (hanya) untuk-Mu,
yang Kau bersihkan hatinya untuk (diisi) cinta-Mu,
yang Kau bangkitkan hasratnya akan karunia-Mu,
yang Kau ilhamkan padanya mengingat-Mu,
yang Kau dorong padanya mensyukuri-Mu,
yang Kau sibukkan dengan ketaatan-Mu,
yang Kau jadikan dari makhluk-Mu yang saleh,
yang Kau pilih untuk bermunajat pada-Mu,
yang Kau putuskan daripadanya segala sesuatu yang memutuskan hubungan dengan-Mu.
Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya.
Ya, Arhamar Rahimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar